Selasa, 27 Desember 2011

2. SUAMI BERHIAS (Mahligai Rumah Tangga) Oleh: Nurul Huda Al-Fatawy

Bagi seorang wanita, berhias adalah hal yang lumrah. Bahkan merupakan fitrah yang dimiliki oleh setiap wanita sepanjang masa. Untuk bisa berpenampilan cantik, seringkali wanita dengan tekun melakukan perawatan untuk tubuhnya. Dari mulai menjaga kebersihan tubuhnya, kebugarannya, sampai pernak-pernik perhiasan yang dipakainya. Untuk bisa berpenampilan cantik tersebut, tidak jarang bagi wanita yang menghabiskan biaya jutaan bahkan ratusan juta rupiah.

Kenyataannya, di dalam syariat Islam tidak melarang seorang wanita untuk berhias secantik mungkin dengan ketentuan-ketentuan yang tidak melanggar syariat. Kebiasaan berhias ini, seyogyanya diniatkan oleh wanita agar suaminya merasa senang bila memandang dan bergaul dengannya.

Meskipun urusan berhias cenderung menjadi monopoli kebiasaan kaum hawa, bukan berarti seorang lelaki tidak diperbolehkan untuk berhias.
Kali ini, Gus Erfan memberikan wejangannya kepada Ling Ling, ”Anakku, Ibnu Abbas ra berkata,

“sesungguhnya aku itu senang berhias karena istriku juga senang berdandan yang diperuntukkan padaku”.
Hal itu disampaikan Gus Erfan karena melihat anaknya, selama masih lajang tak pernah menghiraukan penampilannya. Ling Ling, orangnya cuek. Rambutnya Gondrong, jarang disisir. Badan tak terawat, mungkin karena kesibukannya dalam mencari ilmu. Bahkan sepatunya pun jarang disemir.

 ”Anakku, kamu sekarang tidak seperti dulu selagi masih bujangan. Kau saat ini sudah mempunyai pasangan hidup. Apa yang dilakukan oleh suami harus mempertimbangkan bagaimana perasaan istrinya. Begitu juga sebaliknya, apa yang dilakukan oleh seorang istri hendaknya mempertimbangkan bagaimana kesukaan suami.” Kata Gus Erfan selanjutnya.

”Ketahuilah anakku, Rasulullah SAW pernah bersabda, Ad-dunya mata’ wa khairu mata’iha almar’atush-shalihah, dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita (istri) yang shalihah”.

 ”Secara umum, kebiasaan wanita suka berdandan. Ia senang dengan penampilan cantik. Fahamilah yang demikian itu dengan cara meberinya fasilitas sesuai kemampuanmu, agar istrimu dapat bersolek dan memperindah penampilannya, demi menyenangkan suami. Dan imbangi pula dengan cara memperindah penampilanmu sendiri, agar sang istri juga merasa bahagia dengan penampilan suaminya”.

  ”Terlebih saat kalian berada di rumah. Keelokan penampilan suamimu yang utama adalah untuk dinikmati sang istri. Sebaliknya keindahan penampilan seorang istri adalah semata-mata untuk dipersembahkan kepada sang suami. Keindahan,  kecantikan, ketampanan bukan untuk dipamerkan pada orang lain. Meskipun berpenampilan baik di hadapan orang lain itu juga penting.”

 ”Falsafah Jawa mengatakan, ajining rogo soko busono, ajining budi ono ing lati, artinya keberhargaan badan itu dapat dilihat dari bagaimana berbusana dan kemulyaan moralitas dapat di lihat bagaimana caranya dalam berbicara”.

 Mendengar wejangan itu, Ling Ling mencoba memahami. Dalam hatinya bergumam, ”Pantesan, seorang yang suka musik rok, kecenderungannya berpenampilan model roker. Seorang santri cenderung berpakaian ala santri. Dan seterusnya..”
Gus Erfan meneruskan pembicaraan, ”Anakku, yang terpenting dalam berpakaian adalah ”Lubsta stiyabin nadhifatin faqad thahurat, tathayyubun wastiyajun jawaqad jamula”, yaitu memakai pakaian bersih dan sungguh suci, lalu memakai harum-haruman dan berpenampilan rapi.”

”Berarti mahalnya harga pakaian tidak penting ayah?” tanya Ling Ling menyelah wejangan ayahnya.

 ”Ling Ling anakku, harga pakaian itu relatif, begitu juga model suatu pakaian. Sebab hal itu adalah selera yang didasarkan pada kemampuan daya beli. Namun yang penting, jika kamu adalah santri, maka seharusnya yang jadi motivasi dan kriteria berpakaianmu adalah suci, bersih. rapi dan dapat menutup aurat. Jangan menjadi orang yang meninggalkan nilai-nilai agama. Kamu tidak boleh menggunakan pakaian yang hanya didorong oleh selera nafsu saja. Jangan sampai motivasimu dalam berpakaian dengan hanya mempertimbangkan mahal apa tidak? Modis apa tidak? Tanpa memikirkan apakah pakaian  yang dikenakannya itu dapat mentup aurat ataukah tidak.”

”Apakah seorang santri itu tidak boleh berpakaian modis dan mahal, ayah?”, tanya Ling Ling.
 ”he he he, anakku, kalau kamu mampu, silahkan beli pakaian modis dan mahal, agar nampak anggun dan berwibawa penampilanmu”.

 ”Seorang sufi ternama, Amru Bin 'Asy selalu berpenampilan megah, lalu ditanya oleh sahabatnya, ”anda adalah terkenal sebagai sufi hebat, tapi kenapa penampilan anda selalu mentereng dan pakaiannya mahal?”.
 ”Amru Bin Asy menjawab, ”saya berpenampilan seperti ini, karena seolah pakaian bagus ini berkata, Ya Ayyuhannas Inni Ghaniyyun, hai manusia sesungguhnya aku ini kaya. Sehingga aku tak berharap lagi pada belas kasihan selain dari Allah SWT”. Demikian penjelasan Gus Erfan.

Ling Ling terdiam. Sedangkan istrinya yang bernama Iffah, menatap wajah Ling Ling penuh kearifan. Sambil melemparkan senyum, seolah memberikan penekanan pada suaminya agar memperhatikan nasehat ayahnya itu.

Ling Ling memahami isyarat istrinya, dan berkata, ”Insya’allah saya akan memperhatikan penampilanku ayah. Saat ini saya mulai mengerti betapa penting arti busana terhadap yang memakainya”.
Seperti biasanya, kali ini Lingling juga mengambil secarik kertas, lalu ditulislah:

Pakaian cerminan kehormatan
Di samping sebagai perhiasan

Tapi pakaian lebih berarti
Bila dihiasi dengan budi

Sebab Tuhan kan murka pada hambaNya
Bila prilaku tak lebih baik dari busananya

Lantas Ling Ling membaca sebuah Hadist dari A’isyah RA, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, ”Abghadul Ibaadi Ilallahi Man Kaana Staubahu Khairan Min Amalihi. An Takuuna Tsiyaabuhu Tsiyaabal Anbiya’i. Wa Amaluhu Amalal Jabbarin”, artinya Hamba yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang pakaiannya lebih baik daripada amal perbuatannya. Pakaiannya ibarat pakaian para nabi tetapi amal perbuatannya seperti perbuatan orang-orang yang sering berbuat jahat (HR. AD Dailami).

Waallahu A’lam Bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar