Selasa, 27 Desember 2011

3. LEMAH LEMBUT TERHADAP ISTRI ((MAHLIGAI RUMAH TANGGA) OLEH NURUL HUDA AL-FATAWY

Shalat shubuh telah usai, di pagi yang diselimuti kabut tipis pegunungan. Ling Ling nampak letih karena habis munajat di sepertiga malam bersama istri tercinta. Namun dalam keadaan yang tetap semangat, ia bersama istrinya mengikuti wejangan-wejangan rutin yang diberikan oleh sang ayah.

”Ling Ling, fahamilah bahwa wanita dicipta dari tulang rusuk bengkok, jika kau menyikapi dengan kekerasan, maka akan mudah patah, tetapi bila kau biarkan cenderung salah arah. Maka hadapilah istrimu dengan penuh kelembutan”, kata Gus Erfan dalam wejangannya kali ini.

”Kelembutan yang bagaimana, ayah?”, tanya Ling Ling

”kelembutan yang mendamaikan, kedamaian yang menyenangkan, kesenangan yang penuh perlindungan, perlindungan yang diselimuti cinta dan sayang”, jawab Gus Erfan.

”Aku masih belum mengerti, ayah?”.

”he he he ...Ling Ling... Ling Ling..., baiklah akan kututurkan sedikit demi sedikit, agar kau memahaminya”. Kata Gus Erfan.

”Cinta dalam bahasa Arab disebut ”Hub”, atau ”Habbah”, yang berarti benih. Bibit dari rasa sayang kepada sesuatu. Cinta juga disebut ”Mawaddah” yang berarti lapang atau kosong. Lapang dalam menghadapi solah tingkah istrinya, dan kosong dari prasangka buruk terhadap pasangannya. Karena itu orang yang mencintai istri ia selalu memandang sisi baik yang dimiliki dan mengeksplorasi kebaikan-kebaikannya, dengan mengabaikan kekurangannya. Sebagai suami, kamu juga harus meminimalisir keburukan perangai istrimu. Hal demikian merupakan kewajibanmu sebagai kepala rumah tangga. Meskipun begitu, kamu tidak boleh menghadapinya dengan kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah penyelesaian yang baik atas permasalahan yang ada. Bahkan bisa menambah masalah baru yang tidak diinginkan.”

Tatkala mendengar penjelasan tersebut, Ling Ling teringat dongeng gurunya waktu di bangku sekolah, lalu ia tuturkan, ”Ayah, saya mendengar sebuah kisah, bahwa ada seorang yang diangkat sebagai kekasih Allah karena kesabarannya terhadap perangai buruk istrinya, tapi ia juga dicabut kewaliannya gara-gara itu juga”.

”Ada seorang istri yang tidak cantik, cerewet, dan suka marah-marah pada suaminya. untuk mengindari agar tidak terkena omelan istrinya, setiap habis kerja ia menghabiskan waktunya di masjid dan aktif dalam kegiatan keagamaan lainnya. Malam pun ia habiskan untuk berwirid, bermunajat, sampai istrinya sudah tidur.”

”Akhirnya kerena sabar dan taqarrubnya pada Allah itu, ia dekenal orang sebagai yang memiliki daya linuwih, keramat, doanya mustajab. Ribuan orang memohon do’anya agar mendapatkan kesembuhan dan lain-lain. Ia menjadi makrifat billah, lalu diangkat oleh Allah sebagai kekasihNya.”

”Tatkala sudah masyhur, dalam hatinya terbersit keinginan lain. Ia berdo’a, Ya Allah, sungguh tiada terhingga kemulyaan yang Kau berikan kepadaku. Hampir semua do’aku telah Engkau kabulkan. Kali ini saya memohon kepadaMu, cabutlah nyawa istriku yang jelek dan cerewet ini. Dan gantilah istri baru yang mudah, cantik dan penyayang, demikian pinta orang itu kepada Tuhannya.”

”Allah pun mengabulkan pinta dalam do’anya. Beberapa minggu berlalu, Si Jelek Bawel meninggal dunia. Ia menikah lagi dengan seorang gadis cantik yang manja.”

”Semenjak itu, ia mulai tidak suka keluar rumah. Hari-harinya dihabiskan untuk bermesraan dengan sang istri. Kegiatan kemasyarakatan dan intensitas ibadahnya menurun. Bahkan untuk munajat pun menjadi malas. Kini do’a sang kyai tak mustajab lagi Satu per satu tamunya berangsur berkurang.. Dan akhirnya karena terlena dan dilalaikan oleh kesibukannya dalam bermesraan bersama istri yang cantik itu, berakibat lalai  dari mengingat Allah, maka dicabutlah kewaliannya oleh Allah SWT.” demikian paparan Ling Ling pada ayahnya.

”Hai anakku, cerita itu adalah sebuah gambaran, betapapun keadaan istrimu, hendaknya kamu mensyukurinya. Yakinlah bahwa dia adalah jodoh yang terbaik menurut Allah bagimu. Maka semua bergantung padamu bagaimana dalam memimpin rumah tangga.” komentar Gus Erfan.

”Nabi Muhammad SAW bersabda, Man Shabara ’alaa suu’i khuluqi imra’atihi ’a’thaahullahu minal’ajri mitsla maa u’tiya ayyuba ’alaihissalam ’alaa balaa’ihi”, artinya Barang siapa yang sabar terhadap keburukan akhlak istrinya, maka mendapatkan pahala semisal pahala yang diberikan kepada nabi Ayyub AS.”. lanjut Gus Erfan.

Iffah, sejak tadi hanya diam, namun dia tetap memperhatikan secara seksama kata demi kata atas wejangan mertuanya.
Diam-diam dalam hatinya bicara, ”hmm... Ling Ling adalah suami yang kucinta. Demi cintaku padanya, maka aku akan berbuat yang tidak baik, lalu dia bersabar atas perangai burukku, sehingga mendapatkan pahala yang besar dari Allah atas kesabarannya itu”, demikian pikir Iffah.

”Apa yang ada dalam benakmu menantuku?”, tanya ayahnya seolah tahu apa yang sedang direnungkan Iffah.

”Seorang istri itu wajib berbuat yang terbaik pada suaminya. Wajib mentaatinya secara total selama masih dalam hal-hal yang dibenarkan oleh agama”.
Iffah tersentak, mendengar teguran mertuanya. Belum sempat ia berkata-kata, Gus Erfan sudah melanjutkan penuturannya.

”Rasulullah SAW bersabda, ” Min Haqqihi an lau saala min minkharaihi daman au qaihan falahasathu bilisaaniha maa ’addad haqqahu. Lau Kaanaa yanbaghii libasyarin ayyasjuda libasyarin la’amartul mar’ata an tasjuda lizaujiha idzaa dakhala ’alaiha limaa fadh-dhalallahu ’alaiha ...HR.Hakim, artinya Hak suami itu besar, andaikan mengalir darah atau nanah dari hidungnya, kemudian istri menjilati dengan lidahnya, belum juga terbayar hak suami itu. Dan andaikan diperbolehkan manusia sujud kepada sesama manusia, niscaya saya perintah istri sujud pada suaminya setiap dia ketemu. Demikian itu karena kelebihan yang diberi Allah pada suami”,

”Berarti, ’Swarga nunut neraka katut’ artinya masuknya istri ke dalam surga numpang suami dan terjerumusnya istri ke neraka adalah mengikut suami, ayah?” tanya Ling Ling.

”Ling Ling, menurutku istilah itu adalah sebuah belenggu feodalisme yang perlu kita kaji kembali. janganlah kamu sampai salah memahami hadist tersebut. Wanita menikah bukan untuk dipenjara, bahkan harus dilindungi hak-haknya. Kemarin pernah aku sampaikan sebuah ayat alquran yang artinya pergaulilah istrimu dengan cara yang makruf. Hal ini mengharuskan seorang suami agar berbuat bijaksana dalam memimpin rumah tangga”,
”Kebijakan semacam apa ayah?”, tanya Ling Ling menyelah pembicaraan.

”Misalnya, agama mengajarkan, bahwa setiap istri ketika membelanjakan uangnya harus seijin suami. Maka suami hendaknya tidak membelenggu istrinya dengan alasan tersebut. Sebab kalau bersikeras terhadap haknya, maka istri akan terkekang dan rumah tangga takkan berjalan dengan baik”.
”Kenapa ayah?”

”Sebab amat sedikit suami yang mau menyediakan makan/ memasak untuk istrinya, padahal itu adalah kewajiban suami.”

”Oleh sebab itu, yang terpenting dalam rumah tangga adalah saling percaya dan lapang dada, saling ridha satu sama lainnya. Bukankah nabi juga bersabda, ’Akmalul mu’miniina iimaanan ahsanuhum khuluqa wa althafuhum bi ahlihi. Wa khairukum khairukum li ahlihi (HR At-Tirmidzi), artinya Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang terbaik budi pekertinya, dan yang paling lemah lembut terhadap keluarganya. Yang terbaik diantara kalian adalah suami yang berbuat terbaik untuk istrinya.”

Waallahu A’lam Bish-shawab.

2. SUAMI BERHIAS (Mahligai Rumah Tangga) Oleh: Nurul Huda Al-Fatawy

Bagi seorang wanita, berhias adalah hal yang lumrah. Bahkan merupakan fitrah yang dimiliki oleh setiap wanita sepanjang masa. Untuk bisa berpenampilan cantik, seringkali wanita dengan tekun melakukan perawatan untuk tubuhnya. Dari mulai menjaga kebersihan tubuhnya, kebugarannya, sampai pernak-pernik perhiasan yang dipakainya. Untuk bisa berpenampilan cantik tersebut, tidak jarang bagi wanita yang menghabiskan biaya jutaan bahkan ratusan juta rupiah.

Kenyataannya, di dalam syariat Islam tidak melarang seorang wanita untuk berhias secantik mungkin dengan ketentuan-ketentuan yang tidak melanggar syariat. Kebiasaan berhias ini, seyogyanya diniatkan oleh wanita agar suaminya merasa senang bila memandang dan bergaul dengannya.

Meskipun urusan berhias cenderung menjadi monopoli kebiasaan kaum hawa, bukan berarti seorang lelaki tidak diperbolehkan untuk berhias.
Kali ini, Gus Erfan memberikan wejangannya kepada Ling Ling, ”Anakku, Ibnu Abbas ra berkata,

“sesungguhnya aku itu senang berhias karena istriku juga senang berdandan yang diperuntukkan padaku”.
Hal itu disampaikan Gus Erfan karena melihat anaknya, selama masih lajang tak pernah menghiraukan penampilannya. Ling Ling, orangnya cuek. Rambutnya Gondrong, jarang disisir. Badan tak terawat, mungkin karena kesibukannya dalam mencari ilmu. Bahkan sepatunya pun jarang disemir.

 ”Anakku, kamu sekarang tidak seperti dulu selagi masih bujangan. Kau saat ini sudah mempunyai pasangan hidup. Apa yang dilakukan oleh suami harus mempertimbangkan bagaimana perasaan istrinya. Begitu juga sebaliknya, apa yang dilakukan oleh seorang istri hendaknya mempertimbangkan bagaimana kesukaan suami.” Kata Gus Erfan selanjutnya.

”Ketahuilah anakku, Rasulullah SAW pernah bersabda, Ad-dunya mata’ wa khairu mata’iha almar’atush-shalihah, dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita (istri) yang shalihah”.

 ”Secara umum, kebiasaan wanita suka berdandan. Ia senang dengan penampilan cantik. Fahamilah yang demikian itu dengan cara meberinya fasilitas sesuai kemampuanmu, agar istrimu dapat bersolek dan memperindah penampilannya, demi menyenangkan suami. Dan imbangi pula dengan cara memperindah penampilanmu sendiri, agar sang istri juga merasa bahagia dengan penampilan suaminya”.

  ”Terlebih saat kalian berada di rumah. Keelokan penampilan suamimu yang utama adalah untuk dinikmati sang istri. Sebaliknya keindahan penampilan seorang istri adalah semata-mata untuk dipersembahkan kepada sang suami. Keindahan,  kecantikan, ketampanan bukan untuk dipamerkan pada orang lain. Meskipun berpenampilan baik di hadapan orang lain itu juga penting.”

 ”Falsafah Jawa mengatakan, ajining rogo soko busono, ajining budi ono ing lati, artinya keberhargaan badan itu dapat dilihat dari bagaimana berbusana dan kemulyaan moralitas dapat di lihat bagaimana caranya dalam berbicara”.

 Mendengar wejangan itu, Ling Ling mencoba memahami. Dalam hatinya bergumam, ”Pantesan, seorang yang suka musik rok, kecenderungannya berpenampilan model roker. Seorang santri cenderung berpakaian ala santri. Dan seterusnya..”
Gus Erfan meneruskan pembicaraan, ”Anakku, yang terpenting dalam berpakaian adalah ”Lubsta stiyabin nadhifatin faqad thahurat, tathayyubun wastiyajun jawaqad jamula”, yaitu memakai pakaian bersih dan sungguh suci, lalu memakai harum-haruman dan berpenampilan rapi.”

”Berarti mahalnya harga pakaian tidak penting ayah?” tanya Ling Ling menyelah wejangan ayahnya.

 ”Ling Ling anakku, harga pakaian itu relatif, begitu juga model suatu pakaian. Sebab hal itu adalah selera yang didasarkan pada kemampuan daya beli. Namun yang penting, jika kamu adalah santri, maka seharusnya yang jadi motivasi dan kriteria berpakaianmu adalah suci, bersih. rapi dan dapat menutup aurat. Jangan menjadi orang yang meninggalkan nilai-nilai agama. Kamu tidak boleh menggunakan pakaian yang hanya didorong oleh selera nafsu saja. Jangan sampai motivasimu dalam berpakaian dengan hanya mempertimbangkan mahal apa tidak? Modis apa tidak? Tanpa memikirkan apakah pakaian  yang dikenakannya itu dapat mentup aurat ataukah tidak.”

”Apakah seorang santri itu tidak boleh berpakaian modis dan mahal, ayah?”, tanya Ling Ling.
 ”he he he, anakku, kalau kamu mampu, silahkan beli pakaian modis dan mahal, agar nampak anggun dan berwibawa penampilanmu”.

 ”Seorang sufi ternama, Amru Bin 'Asy selalu berpenampilan megah, lalu ditanya oleh sahabatnya, ”anda adalah terkenal sebagai sufi hebat, tapi kenapa penampilan anda selalu mentereng dan pakaiannya mahal?”.
 ”Amru Bin Asy menjawab, ”saya berpenampilan seperti ini, karena seolah pakaian bagus ini berkata, Ya Ayyuhannas Inni Ghaniyyun, hai manusia sesungguhnya aku ini kaya. Sehingga aku tak berharap lagi pada belas kasihan selain dari Allah SWT”. Demikian penjelasan Gus Erfan.

Ling Ling terdiam. Sedangkan istrinya yang bernama Iffah, menatap wajah Ling Ling penuh kearifan. Sambil melemparkan senyum, seolah memberikan penekanan pada suaminya agar memperhatikan nasehat ayahnya itu.

Ling Ling memahami isyarat istrinya, dan berkata, ”Insya’allah saya akan memperhatikan penampilanku ayah. Saat ini saya mulai mengerti betapa penting arti busana terhadap yang memakainya”.
Seperti biasanya, kali ini Lingling juga mengambil secarik kertas, lalu ditulislah:

Pakaian cerminan kehormatan
Di samping sebagai perhiasan

Tapi pakaian lebih berarti
Bila dihiasi dengan budi

Sebab Tuhan kan murka pada hambaNya
Bila prilaku tak lebih baik dari busananya

Lantas Ling Ling membaca sebuah Hadist dari A’isyah RA, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, ”Abghadul Ibaadi Ilallahi Man Kaana Staubahu Khairan Min Amalihi. An Takuuna Tsiyaabuhu Tsiyaabal Anbiya’i. Wa Amaluhu Amalal Jabbarin”, artinya Hamba yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang pakaiannya lebih baik daripada amal perbuatannya. Pakaiannya ibarat pakaian para nabi tetapi amal perbuatannya seperti perbuatan orang-orang yang sering berbuat jahat (HR. AD Dailami).

Waallahu A’lam Bish-shawab.

1. KOMUNIKASI IDEAL (MAHLIGAI RUMAH TANGGA) OLEH NURUL HUDA AL-FATAWY

“Anakku, kudo’akan semoga kalian dapat menggapai rumah tangga dengan penuh ketentraman dan kebahagiaan karena penuhnya rasa cinta dan sayang yang menyelimuti kalian.” Kata Gus Erfan pada anak dan menantunya setelah melakukan pernikahan.

Mendengar ucapan ayahandanya tersebut, Ling Ling dengan istrinya yang bernama Iffah hanya terdiam. Dalam hati mereka penuh berharap agar do’a ayahnya itu terkabul. Dalam benak Ling Ling, hal demikian itu telah menjadi cita-citanya sejak awal adanya niat mempersunting gadis pilihannya. Tetapi karena belum punya pengalaman dalam hal berumah tangga, nasehat sang ayah tersebut amat diperlukan. Apalagi sosok Gur Erfan bagi Ling Ling adalah ayah teladan yang mampu membina rumah tangga harmonis bersama ibunya.

Sesaat berikutnya Gus Erfan meneruskan pembicaraan. “Ketahuilah anakku bahwa Allah SWT berfirman: Artinya “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Mendengar lantunan Surat Annisa’ ayat 19 tersebut, hati Ling Ling menjadi bergetar. Betapa wanita adalah sosok makhluk mulia yang tidak boleh sembarangan dalam memperlakukannya. Ada perlakuan khusus yang ditekankan oleh Allah melalui firmanNya. Sikap dan perlakukan seorang suami amat menentukan kadar keluhuran akhlaknya. Sebagi seorang muslim yang berbudi luhur tentu akan mengikuti petunjuk al-Quran itu. Hal inilah yang menyebabkan Ling Ling berasa ingin mengetahui lebih dalam dari kandungan ayat tersebut.
“Ayah, apa maksud dari ayat itu? Dan apa yang harus kami lakukan dalam mengamalkan petunjuk Allah tersebut?”. Demikian, tanpa segan-segan Ling Ling bertanya kepada Gus Erfan.

“Pertama, kamu harus memahami ayat tersebut, bahwa secara bahasa. ‘Asyiruhunna’‘ mengandung pengertian bahwa kamu harus mempergauli atau memperlakukan istrimu dengan sesuatu yang dapat menyenangkan atau membahagiakannya.”

al-Ma’ruf berarti (arafa: mengenal, mengetahui), kata tersebut juga mengandung perintah agar sang suami berbuat baik kepada istrinya dengan penuh kesabaran. Kebaikan yang kamu berikan dalam beragaul dengan istrimu itu adalah kebaikan yang dapat dipertanggungjawabkan secara empiris, berdasarkan data dan fakta, yang disesuaikan dengan syariat agama. Bukan berdasar prasangka atau pun bisikan-bisikan gaib yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.”

“Wa ‘asyiruu hunna bil ma’ruf, mengandung sebuah petunjuk bahwa dalam bergaul dengan istri hendaknya kamu berusaha menyenangkan, atau membahagiakan dengan cara yang baik, dapat dipertanggung jawabkan, sesuai dengan kemampuanmu, dan sesuai dengan keadaan yang ada, tanpa dibuat-buat atau tidak penuh dengan kepalsuan.”

al-Ma’ruf  juga berarti patut dan bijaksana. Kepatutan harus dilakukan oleh suami kepada istrinya, baik dalam hal pemenuhan hak dalam urusan nafkah lahir maupun batin. Juga adanya keseimbangan antara hak dan kewajibannya. Penuh sopan santun, tidak gampang melukai perasaannya. Tidak sewenang-wenang padanya. Memperlakukannya selayaknya manusia yang yang harus dijamin rasa amannya, kebutuhan pokok hidupnya, ketentraman batinnya. Tidak disikapi sebagai pembantu dalam rumah tangga, melainkan sebagai pasangan hidup sang suami yang memiliki kedudukan sama dalam rumah tangga.”

“Ling Ling anakku, andaikan kamu hendak menikah lagi, dengan alasan bahwa seorang suami dibolehkan berpoligami, maka kamu hendaknya bersikap yang adil. Dan keputusanmu untuk berpoligami hendaknya dengan alasan karena adanya sebab yang mengahruskan kamu berpoligami. Meskipun hal poligami dibolehkan oleh agama, tapi hal itu jangan kamu jadikan alasan pembenaran atas dirimu untuk memperturutkan hawa nafsu belaka. kamu harus memakai alasan-alasan logis, kenapa dan untuk apa sampai kau melakukan poligami?”, demikian tutur Gus Erfan.

“Kedua, disamping kamu harus memberi istrimu nafkah lahir batin secara penuh tanggung jawab, juga berbicaralah padanya dengan perkataan yang baik”. Kata Gus Erfan.

“Bisa dijelaskan lagi, bagaimana cara saya memberi nafkah lahir batin yang penuh tanggung jawab, serta berkata dengan perkataan yang baik itu, ayah?“

“Baiklah anakku, sebagai renungan, dulu di jaman nabi Sulaiman Alaihissalam, ada seekor burung pipit jantan sedang merayu kepada seekor burung pipit betina.”

“Si jantan berkata, wahai Pipit betina, andaikan kau berkenan menerima cintaku, niscaya akan kulakukan apapun untuk membahagiakanmu.”

”Pipit betina menjawab, “kang mas, apa yang bisa kau lakukan untuk membahagiakanku, jika aku menerima cintamu?”

“Si Jantan berkata; Andaikan kau menyuruhku untuk memindah kubah masjid nabi sulaiman ini, niscaya akan kulakukan, asal kau dapat hidup bahagia.”

“Mendengar dialog kedua burung itu, nabi sulaiman tersenyum, lalu memanggil si Pipit Jantan, ‘Hai Pipt, badanmu itu kecil, dengan apa kau hendak mengangkat kubah masjidku yang besar dan berat ini?, Tanya nabi sulaiman penasaran.”

”Si Jantan menjawab, ‘Wahai baginda Nabi Sulaiman as. Ketahuilah bahwa cinta itu berawal dari kepalsuan dan berakhir dengan kematian.”

”Jawaban burung pipit jantan itu membuat Nabi sulaiman tersenyum kecil, dan manggut-manggut”. Demikian kata Gus Erfan.
Ling Ling bertanya kepada ayahnya, “Lalu apa hubungannya dengan pertanyaanku?”.

“Anakku, Cinta membutuhkan pengorbanan yang tidak kecil, tetapi janganlah kau suka membohongi istrimu atas sesuatu yang tidak bisa kamu lakukan. Berjuanglah menurut kemampuanmu untuk mendapatkan rizki yang halal demi kecukupan keluargamu. Tetapi jangan sampai kau memaksakan diri terhadap sesuatu yang tidak mungkin bisa kamu lakukan. Karena, pada dasarnya rizki adalah hak Allah yang menentukannya. Dan kewajibanmu hanyalah berikhtiar secara penuh tanggung jawab”. Jelas Gus Erfan

“Anakku, berkata yang baik itu adalah jujur dan penuh ketulusan serta sopan santun yang sesuai dengan adat dan tradisi yang ada dilingkunganmu.”

”Ayah punya teman yang bernama Arif. Ia punya pengalaman. Ketika pengantin baru, Arif ingin mencontoh rasul sesuai yang terjadi di jamannya, lalu dia praktekkan. Di waktu malam pertama, dia memanggi istrinya, ‘Ya, Khumaira’!, duhai yang memiliki pipi merah delima!”.

”Istrinya menjawab; Ember!”

”Lalu dia ulang pertanyaannya, ‘Ya Khumaira’!”

”Istrinya menjawab lagi; ember!”

”Dia ulang sekali lagi, Ya, Khumaira’!”

”Istrinya menjawab semakin seru, “Taiii……!”

”Dari peristiwa itu, akhirnya aku berfikir bahwa dalam menjalankan syarIat, khususnya akhlak nabi, terkadang kita tidak bisa/ boleh melakukan tidak sama persis dengan yang dilakukan Oleh Rasulullah. Hal demikian, karena adanya perbedaan kultur dan jamannya”.

”Di sini, untuk menciptakan hubungan dengan perkataan yang baik itu, diperlukan komunikasi ideal, penuh kejujuran, dan kewajaran.”

”Andaikan kau memiliki istri yang berkulit hitam, kamu tidak boleh memanggilnya dengan sebutan ”Hitam”, karena itu akan dapat menyakitinya. Juga tidak baik, apabila kamu memanggilnya dengan sebutan, ”duhai istriku yang berkulit putih mulus”, padahal istrimu berkulit hitam. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan seorang istri pada pujian suaminya. Sebab pujianmu terasa mengada-ada, bahkan bisa menimbulkan kesan memperolok.”

“Cara yang baik adalah kamu memuji dengan mencari sisi-sisi kelebihannya dan menafikan atau tidak mengungkap sisi buruknya. Bukankah kebanyakan wanita itu suka dipuji?” demikian penjelasan Gus Erfan.
Mendegar wejangan sang ayah, Ling Ling hanya diam. Penuh seksama mencermati kataper kata. Pikiran Ling Ling pun berasosiasi. Lalu ia tuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan;

Suami adalah seorang pemimpin
Hendaknya memahami yang dipimpin
Memahami dengan penuh empati
Yang tumbuh dari ketulusan cinta kasih

Ketulusan kasih yang lahir dari budi
Berdasar syariat Illahi.
Syariat yang diekspresikan lewat komunikasi
Penuh ketulusan tanpa basa basi

Wahai sang suami mengertilah pada sang istri
Jauhkan dari segala keresahan dan sedih
Binalah dia untuk menggapai bahagia
Dalam pernak-pernik mahligai rumah tangga

Agar kelak dapat melahirkan keturunan
Yang dapat di eluh-eluhkan dan diandalkan
bermanfawat untuk negara
menjadi iman dalam agama

Setelah menuangkan uneg-unegnya dalam wujud tulisan, lalu Ling Ling mebaca sebuah ayat dalam QS. Al-Baqarah; “Wa lahunna Mistlulladzi ‘alaihinna bil ma’ruf, artinya, istri itu memiliki hak dari suaminya sama dengan kewajiban istri kepada suami dengan sebaik-baiknya”. Waallahu A’lam Bish-shawab.

Kamis, 15 Desember 2011

W e d u s


Aku ini kambing. Orang jawa menyebutku “Wedus”, kependekan dari kata “Wedi Adus” artinya takut mandi. Karena jarang mandi, sehingga aku memiliki bau yang tidak sedap. Aku sering dijadikan bahan cemo’ohan karena bau yang tak enak itu.

Sebagai kambing, aku biasanya disembelih oleh orang yang memerlukan dagingku. Baik untuk sate maupun tongseng dan sebagainya.

Warna buluku bermacam-macam. Ada yang hitam, kuning, putih, dan sebagainya. Khusus untuk yang kulit hitam itu sering dipakai oleh manusia yang tak bertanggungjawab. Mereka sering menjcari kambing hitam untuk dijadikan pelimpahan kesalahan yang telah diperbuatnya.

K O D O K


Aku iki kodok. Sewaktu isih cilik, Aku dijenengno percil. Sakdurunge percil aku dadi ceblong dishek. Wong Indonesia nyebute brudu.

Waktu isih dadi ceblong, urepku neng belong. Sak bendino mangan turu ning banyu. Ora tau ngomong, sak bendino mbisu. Ora ngerti cah ayu yo ora ngerti  sopo awakku. Masiho neng buthungku ono buntute, tapi aku ora ngeroso isin. Ning pikiranku sing penting awakku dadi lemu. Pingin cepetan dadi percil terus dadi kodok.

Waktu dadi percil, mripatku wis iso pecical-pecicil. Uripku wis mulai akeh pola. Sithik-sithik aku dolan menyang kali, ugo kadang-kadang mencolot neng sawah. Maktu ning kali aku diseneni sebab kuatir keli iline banyu sing banjir. Banjir kaline amergo sampah sing dibuangi wong-wong kentir. Sampah-sampah iku anane macem-macem. Ono sing arane kancut, kutang ugo pembalut. Nek biyen aku seneng dolan neng kali. Banyune bersih ora ono sing ngerusoni. Meline katon lirih, keroso kepenak  ning ati.

Saiki aku wis gedhe. Aranku dudu ceblong ugo dudu percil. Tapi aku dijenengi kodok. aku bebas manyang endi ae. Suoroku kepenak, senengaku nyanyi-nyanyi sak ben bengi., sehinggo akeh wong sing ngincer.

Saben wayah bengi akeh wong nyuluh kodok. Aku saiki dadi burone wong akeh. Nek sampik kecekekel aku disembelih. Nang restoran pupuku ditoleki wong-wong, arepe dipangan.

J A R A N


Jarene wong-wong aku diarane “jaran” saka tembung kirata basa nek “dijarno sak paran-paran”. Iso melayu menyang ngendi wae. Kadang lewat gunung, nyebrangi kali, neng padang pasir uga neng dalan sing roto.

Diarani jaran, aku yo ora seneng-seneng tok, sebab kadang aku dipadani ora duwe udhel. Padahal udhelku wis tak pamerno lewat endi ae. Kadang nang ndukur pentas ambek menyanyi, neng  dalan-dalan sing tak lewati, uga kadang sengojo mejeng nang pasar ugo tempat rekreasi. Tapi diarani aku iki jaran, masio wis tak kandak-kandakno marang sopo ae, tetep ae aku diilokno ora duwe udhel.

Aku jaran, sepisan jaran yo tetep ae jaran. Masih diapak-apakno yo pancet jaran. Mangkane aku seneng gak kelambian. Kanggo ngindari wadanane wong-wong, aku nggawe koco moto khusus jaran, sing sering diarani wong-wong “Kacamata kuda”.

Sing marai aku ora iso seneng-seneng dewe, amergo aku ditumpaki wong akeh sarono gantian. Nek playuku banter sering dijuluki “Kuda Terbang”, sebab iso ngajak wong sing numpaki aku keroso ning awang-awang.

K U D A


Kata orang, aku ini disebut” KUDA” atau dalam Bahasa Jawa  dinamakan “Jaran” kependekan dari “dijarno sak paran-paran” artinya apabila dibiarkan bisa kemana-mana. Karena aku dapat berlari kemana saja. Kadang melewati gunung, menyeberangi sungai,  melalui padang pasir, juga pada jalan yang rata. 

Dinamakan KUDA, aku tidak  bersenang-senang saja, tetapi terkadang dicemo’oh oleh manusia bahwa aku tak punya pusar “Udhel”. Padahal udhelku sudah aku pamerkan lewat mana saja. Kadang aku tunjukkan di atas pentas sambil bernyanyi dan berjoget, pada jalan-jalan yang aku lewati, bahkan terkadang sengaja aku nampang di pasar serta tempat rekreasi. Tetapi dikatakan bahwa aku ini KUDA, sekali Kuda tetap saja KUDA, meskipun diberitakan pada siapa saja tetap saja aku ini adalah KUDA yang selalu di katai tidak punya Pusar.

Sekali kuda tetap Kuda. Meskipun diapakan saja tetap saja kuda. Maka aku senang tidak pakai baju. Untuk menghindari hinaan orang banyak, aku memakai Kaca Mata khusus kuda, seringkali dinamakan “KACA MATA KUDA”.

Hal yang membuatku merasa bisa senang-senang, sebab aku dinaiki banyak orang secara bergantian. Apabila aku berlari cepat sering dijuluki “Kuda Terbang”, sebab bisa mengajak orang yang menaikiku merasa terbang di awing-awang.

Rabu, 14 Desember 2011

KANCIL DAN GAJAH

“Hai gajah! Enak ya kamu berbadan besar”, Kata kancil.

“KAlau aku tidak besar, tentu aku bukan gajah, cil, kancil”, jawab Gajah

“KAmu juga enak cil, bertubuh kecil sehingga bisa gesit dan lincah”, ucap gajah selanjutnya.

“KAlu aku bertubuh besar seperti kamu, tentu aku bukan lagi kancil namanya, jah, gajah”,kat kancil.

Lalu, si gajah menawarkan diri untuk tukar posisi. “Sekarang gini aja, kita berdua saling menukar tubuh, sehingga aku menjadi kecil seperti kamu, dan kamu menjadi besar seperti aku, gimana?”.

Merka berdua akhirnya sepakat saling menukar tubuhnya masing-masing. Gajah bertubuh kecil seperti kancil, namun tetap dengan kemampuan dan naluri seperti gajah. Begi juga si kancil dia bertubuh besar seperti gajah, namun dalam selera dan naluri yang sama sebagai kancil.

Waktu sore tiba. Akhirnya perut mereka berdua terasa lapar. Maka si kacil berangkat mencari rumput untuk di makan. Namun karena selera makannya tetap sebagai kancil, sementara bertubuh besar seperti gajah, maka berakibat si kancil tdak pernah merasa kenyang. Akhirnya dia mati kelaparan.

Begitu juga si gajah. Ketika dia mencari rumput untuk dimakan, tetapi karena bertubuh kecil seperti kancil, sementara selera makannya masih selera gajah, maka baru makan sedikit saja sudah tidak muat perutnya. Akhirnya dia mati kekenyangan

K O D O K

Aku iki kodok. Sewaktu isih cilik, Aku dijenengno percil. Sakdurunge percil aku dadi ceblong dishek. Wong Indonesia nyebute brudu.

Waktu isih dadi ceblong, urepku neng belong. Sak bendino mangan turu ning banyu. Ora tau ngomong, sak bendino mbisu. Ora ngerti cah ayu yo ora ngerti  sopo awakku. Masiho neng buthungku ono buntute, tapi aku ora ngeroso isin. Ning pikiranku sing penting awakku dadi lemu. Pingin cepetan dadi percil terus dadi kodok.

Waktu dadi percil, mripatku wis iso pecical-pecicil. Uripku wis mulai akeh pola. Sithik-sithik aku dolan menyang kali, ugo kadang-kadang mencolot neng sawah. Maktu ning kali aku diseneni sebab kuatir keli iline banyu sing banjir. Banjir kaline amergo sampah sing dibuangi wong-wong kentir. Sampah-sampah iku anane macem-macem. Ono sing arane kancut, kutang ugo pembalut. Nek biyen aku seneng dolan neng kali. Banyune bersih ora ono sing ngerusoni. Meline katon lirih, keroso kepenak  ning ati.

Saiki aku wis gedhe. Aranku dudu ceblong ugo dudu percil. Tapi aku dijenengi kodok. aku bebas manyang endi ae. Suoroku kepenak, senengaku nyanyi-nyanyi sak ben bengi., sehinggo akeh wong sing ngincer.

Saben wayah bengi akeh wong nyuluh kodok. Aku saiki dadi burone wong akeh. Nek sampik kecekekel aku disembelih. Nang restoran pupuku ditoleki wong-wong, arepe di papangan.


Selasa, 13 Desember 2011

D O R O

Aku si Burung Merpati. Orang jawa menyebutku “Doro”, akronim dari “Ono Dudo Mesti Moro” atau “Ono Rondo Mesti Moro”. Disebut Doro sebab aku tidak bisa diam. Tiap saat inginnya beterbangan mencari tambatan hati. Tak perduli di taman atau di kandang sendiri. Yang penting bagiku adalah kepuasan.

Jika ada yang yang bilang bahwa Merpati itu tak pernah ingkar janji, memang benar adanya. Sebab janjiku tidak setia dengan satu pasangan. Aku selalu mencari dan terus mencari sampai tak ada lagi yang bisa kucari.

Dasar merpati, aku ini tidak punya malu. Maka aku tak menganggap aturan yang ada. Yan penting aku bisa bersuka-suka.

B E B E K

Namaku bebek. Suaraku bikin orang brisik, sehingga mereka menyebutku “bebek wek”. Aku ini suka berganti-ganti pasangan, namun pandai bertelur. Tapi aku tidak pandai mengerami telurku sampai menetas.

Jenisku yang pendek dan suka menggoyang-goyang pantat (megal-megol), sehingga aku disebut orang jawa dengan nama “menthok” akronim dari “megal-megol thok”. Sampai mereka membuatkan lagu untukku dengan lirik “Menthok-menthok rinio tak kandani. Ojo megal-megol wae. Menthok-menthok rinio tak kandani, ojo mangan turu wae…”.

Di saat aku memiliki tubuh bagus berleher jenjang, aku disebut angsa atau orang jawa bilang “banyak”. Karena aku ini hanyalah seekor angsa, maka tidak seperti manusia yang punya budaya. Aku tak perlu jilbah aku macam-macam pakaian, sebab aku sudah memiliki bulu-bulu yang elok.

Aku terkedang diternak oleh manusia untuk diambil telurnya. Mereka menyebutku dengan nama “bebek wek”. Suaraku banyak, bikin orang brisik. Siang maupun malam aku selalu berceloteh, dan sering bertelur. Sebagian manusia memakai telurku untuk campuran jamu kuat. Mitos yang mereka yakini bisa menguatkan kejantanan, karena melihat diriku (yang jantan), satu ekor jantan bisa menyetubui 20-40 bebek betina. Dan yang betina bisa berkali-kali bertelur.

Kulihat, di tengah-tengah budaya manusia, suka sekali makan dagingku. Meski bauku tak sedip, tapi dagingku enak rasanya, apalagi kalau digoreng. Mereka yang bertabiat sepertiki sering dikatakan “Mbebeki”.

U L A T B U L U

Daerah yang terkenal Agraris, Indonesia memiliki berbagai aneka macam tumbuhan. Hal itu pula dibarengi dengan aneka ragam hewani yang terlengkap di dunia.


Sudah menjadi sunnatullah, bahwa keseimbangan alam semesta ini berlaku hukum saling ketergantungan antara makluk yang satu dengan lainnya. Karena Yang Maha Berdiri sendiri (Qiyamuhu Bi Nafsihi) hanya Allah swt.


Untuk menjaga keseimbangan ekosistem, Tuhan telah menentukan adanya system “Rantai Makanan”. Apabila ada salah satu populasi makhluk hidup terjadi kepunahan, maka akan timbul tidak adanya keseimbangan. Misalnya, karena akibat ulah manusia yang suka menangkap ular dan membunuhnya, maka akan terjadi berkurangnya atau bahkan tidak adanya pemangsa tikus, sehingga berakibat akan mudah timbul hama tikus. Setiap ada kejadian punahnya suatu populasi, maka akan menimbulkan perkembangan pada makhluk yang lain yang dapat menimbulkan masalah baru bagi kehidupan manusia dan alam sekitarnya.


Seperti yang terjadi di daerah Probolinggo jawa Timur, beberapa desa telah dilanda wabah ulat bulu yang begitu banyak. Ulat-ulat tersebut tidak hanya menyerang tanaman atau pohon-pohon, tetapi juga memenuhi rumah-rumah penduduk.


Sebagai orang yang ahli di dalam “Ilmu Alam” tentu akan menduga bahwa hal tersebut diakibatkan oleh hewan-hewan pemangsa ulat telah punah, sehingga menjadikan pengembangbiakannya sangat cepat.

Namun dalam Tulisan ini, kami tidak mengurai bagaimana secacara biologis ulat-ulat tersebut dengan cepat dapat memenuhi tempat/ daerah itu, melainkan mencoba mengurai makna dibalik peristiwa yang ada.


Pertama, Ulat adalah sebagai simbul hewan yang menjijikkan dan membuat gatal kulit serta tidak disukai oleh manusia.


Hal itu mengandung sebuah iktibar, hendaknya manusia perlu menginstrospeksi diri, apakah dengan kejadian wabah ulat bulu itu menjadi sebuah perlambang bahwa budaya manusia telah begitu menjijikkan? Dalam interaksi sosial yang ada, manusia yang satu dengan lainnya, banyak yang menjadi ulat-ulat. Memakan harta oang lain dengan cara yang tidak halal, melanggar hak orang lain, mengganngu ketentraman pihak lain dan sebagainya, seperti ulat yang suka makan dan merusak daun-daunan, sehingga pohonnya menjadi mati. Bahkan kebanyakan hati manusia pun telah ikut dimakan ulat. Manusia tidak lagi memiliki kejernihan hati dalam memandang sesuatu persoalan. Yang ada hanya kerakusan dan lapar terhadap kesenangan nafsu.


Apabila bencana Ulat bulu tersebut difahami sebagai bahasa Tuhan dalam mengingatkan manusia, tentu untuk menciptakan Negara yang bersih, asri, disegani dan dicintai oleh bangsa-bangsa lain, maka kita hendaknya melakukan “Taubatan Nasuha” (baca: Reformasi Total)

Dengan reformasi total tersebut, maka seperti Ulat yang berubah menjadi kupu-kupu, mereka harus melakukan tapa berata, mengabaikan bentuknya, bertirakat dalam kepompong sehingga ulat yang menjijikkan menjadi kupu-kupu yang disukai banyak orang.


Taubatan Nasuha yang difahami sebagai Reformasi Total tersebut adalah tidak hanya melalui reformasi birokrasi dangan segala perangkat undang-undangnya, melainkan juga reformasi pola pikir dan reformasi budaya dengan  cara lupakan hal-hal yang lampau, mengampuni segala kesalahan masa lampau, kemudian segala keburukannya ditinggalkan dirubah menjadi polapikir yang baru yang lebih ideal dan adil dan berpihak pada nilai-nilai kemanuisaan.


Merubah kebiasaan korup menjadi jujur. Merubah kebiasaan melanggar menjadi taat aturan, merubah pola hidup konsumtif menjadi produktif, merubah kebiasaan tangan di bawah menjadi tangan di atas, merubah penyakit pecundang menjadi jantan, merubah ego kedaerahan menjadi fanatisme nasional, merubah intrik perpecahan menjadi keutuhan, merubah penindasan menjadi mengangkat nilai-nilai dan harkat martabat sebagai bangsa yang santun dan berwibawa.


Apabila tidak siap menjadi kupu-kupu maka jangan pilih menjadi Ulat Bulu
Jika tak sanggup menjadi manusia terhormat maka jangan menjadi biadab
Apabila tak bisa membangun maka jangan jadi perusak
Andaikan kau cinta negeri ini maka jangan kau nodai

p h i t i k

Ning ngarepe omahku ono pithik. Pithik-pithik iku werno wulune macem-macem. Ono sing abang, ireng, putih, lan ono sing blorok.

Pithik sing wulune ireng bles, diarane cemani. Cemani sing asli, gak mek wulune thok sing ireng, tapi daging lan getihe ugo ireng. Pendeke, jobo ireng njerohne yo ireng. Pithik jenis iki biasae dienggo sesaji, sebab disenengi karo bongso alus.

Pithik sing putih bles, jenenge putih mulus. Njobo putih, njeruhne ugo putih. Ora ono gudhike blas. Pithik iki biasae dianggo sesaji, tulak balak. Sebabe putih ikut perlambang bersih.

Pithik sing wulune cilik- cilik, darane pithik cemoro. Pithik iki biasane diango upacara buang sangkal, kelawan diculno ning tengah-tengahe alun-alun kertosuro.

Pithik tukung, pithik sing kethok buthunge. Pithik iki ketok gak tahu kathoan. Bokonge gedhe megal-meghol ora ditutupi opo-opo.Mmangkane disenegi wong-wong, sebab ngendogan.

Pithik blorok, wulune wulesi campuran. . Diarani belorok, wulesi pithik ora jelas. Putih, ireng, aang, kuning lan liyo-liyane, campur dadi siji dianggo nutupi awake.Pithik iki biasae ndablek pating semlamber, tapi yo pinter ngendog

Ono mene, pithik sing nang ngarep omahku iki, cucuke abang branang amergo kakean bengesan. Mangane doyan, tapi ora tahu ngendog. Ora jelas statuse, rondo opo prawan. Ora keno dijagakno sobo kandang opo neng lapangan.  Ora gelem mangan jagung, tapi senengane mangan ning restoran. Sakbendino ngempit dompet, dianggo madahi duwek atusan ewon.

B U A Y A

Semua orang kenal hewan yang bernama buaya. Buaya ini hidupnya di sungai.  Makanannya adalah bangkai.  Bangkai  adalah adalah jasad yang membusuk. Karena dia sukanya hal-hal yang berbau busuk. Maka siapa saja yang memiliki bau busuk hati-hati dengan buaya. Sebab bisa jadi kau akan bernasib menjadi santapan nikmat sang buaya.

Buaya sungai tak ubahnya dengan buaya darat. Namun buaya darat lebih suka bersikap sok. Sok tampan, sok menarik, sok berduit, sok berilmu dan sebagainya. Tetapi keduanya memiliki naluri dan kegemaran memakan serta menikmati hal-hal yang busuk.

Karena kegemarannya makan bangkai itu, maka di mulut buaya penuh dengan virus dan bakteri. Ketika berbicara nampak mengagumkan, padahal bila didekati baunya busuk bukan kepalang. Tidak hanya itu, dia akan menyebabkan mangsanya mati. Mati imannya, mati harga dirinya dan mati harkat martabatnya, bahkan nilai-nilai kemanusiannya akan sirna dari dirinya.

Di antara ciri-ciri/ kebiasaan buaya dalam memakan/ menerkam mangsanya adalah dia menyelam terlebih dulu, diam tak bergerak bahkan menahan nafasnya. Ia bisa kuat tidak bernafas di dalam air sampai satu jam lamanya.

Tak terkecuali dengan buaya darat. Ia mampu berpura-pura sebagai orang pendiam, baik budi, dermawan, memiliki simpati dan empati, serta mampu menyembunyikan segala keburukannya untuk bias mendekati dan menerkam mangsanya.

Maka, wapadailah buaya, jangan sampai kita terlena bujuk rayunya dan mudah terpikat pada penampilan luarnya.

Senin, 12 Desember 2011

profil Nurul Huda Al-Fatawy

Nurul Huda (Alfatawy) lahir di sidoarjo pada tanggal 13 septemper 1971. Ia memulai pendidikannya pada Sekolah Dasar Negeri Panjunan dan setelah setengah tahun, dia keluar dari sekolah tersebut.  Kemudian dia mendaftar sekolah lagi pada Sekolah Dasar Negeri Masangankulon kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo.
Bersamaan itu pula, dia sekolah di Madrasya Ibtidaiyah Panjunan Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo, tetapi tidak sampai lulus, hanya sampa pada kelas lima.
pendidikan SLTPnya dia tempuh di SMP YPM sepanjang Kecamatan Taman Sidoarjo, sambil menempuh pendidikan non formar di Pondok Pesantren Bahauddin Khas An-Nidlamiyah yang diasuh oleh KH. Badrussaleh Sakur, di Ngelom Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo.
Setelah itu dia melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah Hasyim Asy'Ari sepanjang, tetapi hanya ditempuhnya selama lebih kurang satu tahun (tidak sampai lulus). Kemudian dia mendaftarkan diri untuk sekolah di SMEA Taman Jurusan Akuntansi di Jl. Ir. Anwari Nomor 1 Wonocolo Kec. Taman Kabupaten Sidoarjo,sambil juga masih menempuh pendidikannya di Pesantren  Bahauddin.
Pada tahun 1991 dia melanjutkan kuliah di Akademi Menejemen Produksi dan Pemasaran "Akop Surya" Surabaya (tidak  sampai lulus) yaitu hanya sampai pada semester empat.
Pada tahun 1995 dia mendaftar kuliah pada Sekolah Tinggi Agama islam Al-Khaziny Buduran Sidoarjo untuk memperoleh gelar akademik "Sarjana Agama (S.Ag.)" jurusan tarbiyah (Pendidikan Agama Islam)
Setelah menyelesaikan pendidikan S-1, dia melanjutkan kuliah di STAI Al-Khaziny juga untuk melanjutkan study S-2 Jurusan Manajemen Pendidikan Islam. Saat ini dia sudah memiliki gelar Magister PendidikanIslam.
untuk mengikuti hasyrat keingintahuannya terhadap berbagai ilmu, setelah menyelesaikan study S-2 nya dia kuliah lagi S-1 di Universita Dr. Soetomo Surabaya Fakultas Ilmu Administrasi, Jurusan Administrasi Publik.