Selasa, 27 Desember 2011

1. KOMUNIKASI IDEAL (MAHLIGAI RUMAH TANGGA) OLEH NURUL HUDA AL-FATAWY

“Anakku, kudo’akan semoga kalian dapat menggapai rumah tangga dengan penuh ketentraman dan kebahagiaan karena penuhnya rasa cinta dan sayang yang menyelimuti kalian.” Kata Gus Erfan pada anak dan menantunya setelah melakukan pernikahan.

Mendengar ucapan ayahandanya tersebut, Ling Ling dengan istrinya yang bernama Iffah hanya terdiam. Dalam hati mereka penuh berharap agar do’a ayahnya itu terkabul. Dalam benak Ling Ling, hal demikian itu telah menjadi cita-citanya sejak awal adanya niat mempersunting gadis pilihannya. Tetapi karena belum punya pengalaman dalam hal berumah tangga, nasehat sang ayah tersebut amat diperlukan. Apalagi sosok Gur Erfan bagi Ling Ling adalah ayah teladan yang mampu membina rumah tangga harmonis bersama ibunya.

Sesaat berikutnya Gus Erfan meneruskan pembicaraan. “Ketahuilah anakku bahwa Allah SWT berfirman: Artinya “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Mendengar lantunan Surat Annisa’ ayat 19 tersebut, hati Ling Ling menjadi bergetar. Betapa wanita adalah sosok makhluk mulia yang tidak boleh sembarangan dalam memperlakukannya. Ada perlakuan khusus yang ditekankan oleh Allah melalui firmanNya. Sikap dan perlakukan seorang suami amat menentukan kadar keluhuran akhlaknya. Sebagi seorang muslim yang berbudi luhur tentu akan mengikuti petunjuk al-Quran itu. Hal inilah yang menyebabkan Ling Ling berasa ingin mengetahui lebih dalam dari kandungan ayat tersebut.
“Ayah, apa maksud dari ayat itu? Dan apa yang harus kami lakukan dalam mengamalkan petunjuk Allah tersebut?”. Demikian, tanpa segan-segan Ling Ling bertanya kepada Gus Erfan.

“Pertama, kamu harus memahami ayat tersebut, bahwa secara bahasa. ‘Asyiruhunna’‘ mengandung pengertian bahwa kamu harus mempergauli atau memperlakukan istrimu dengan sesuatu yang dapat menyenangkan atau membahagiakannya.”

al-Ma’ruf berarti (arafa: mengenal, mengetahui), kata tersebut juga mengandung perintah agar sang suami berbuat baik kepada istrinya dengan penuh kesabaran. Kebaikan yang kamu berikan dalam beragaul dengan istrimu itu adalah kebaikan yang dapat dipertanggungjawabkan secara empiris, berdasarkan data dan fakta, yang disesuaikan dengan syariat agama. Bukan berdasar prasangka atau pun bisikan-bisikan gaib yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.”

“Wa ‘asyiruu hunna bil ma’ruf, mengandung sebuah petunjuk bahwa dalam bergaul dengan istri hendaknya kamu berusaha menyenangkan, atau membahagiakan dengan cara yang baik, dapat dipertanggung jawabkan, sesuai dengan kemampuanmu, dan sesuai dengan keadaan yang ada, tanpa dibuat-buat atau tidak penuh dengan kepalsuan.”

al-Ma’ruf  juga berarti patut dan bijaksana. Kepatutan harus dilakukan oleh suami kepada istrinya, baik dalam hal pemenuhan hak dalam urusan nafkah lahir maupun batin. Juga adanya keseimbangan antara hak dan kewajibannya. Penuh sopan santun, tidak gampang melukai perasaannya. Tidak sewenang-wenang padanya. Memperlakukannya selayaknya manusia yang yang harus dijamin rasa amannya, kebutuhan pokok hidupnya, ketentraman batinnya. Tidak disikapi sebagai pembantu dalam rumah tangga, melainkan sebagai pasangan hidup sang suami yang memiliki kedudukan sama dalam rumah tangga.”

“Ling Ling anakku, andaikan kamu hendak menikah lagi, dengan alasan bahwa seorang suami dibolehkan berpoligami, maka kamu hendaknya bersikap yang adil. Dan keputusanmu untuk berpoligami hendaknya dengan alasan karena adanya sebab yang mengahruskan kamu berpoligami. Meskipun hal poligami dibolehkan oleh agama, tapi hal itu jangan kamu jadikan alasan pembenaran atas dirimu untuk memperturutkan hawa nafsu belaka. kamu harus memakai alasan-alasan logis, kenapa dan untuk apa sampai kau melakukan poligami?”, demikian tutur Gus Erfan.

“Kedua, disamping kamu harus memberi istrimu nafkah lahir batin secara penuh tanggung jawab, juga berbicaralah padanya dengan perkataan yang baik”. Kata Gus Erfan.

“Bisa dijelaskan lagi, bagaimana cara saya memberi nafkah lahir batin yang penuh tanggung jawab, serta berkata dengan perkataan yang baik itu, ayah?“

“Baiklah anakku, sebagai renungan, dulu di jaman nabi Sulaiman Alaihissalam, ada seekor burung pipit jantan sedang merayu kepada seekor burung pipit betina.”

“Si jantan berkata, wahai Pipit betina, andaikan kau berkenan menerima cintaku, niscaya akan kulakukan apapun untuk membahagiakanmu.”

”Pipit betina menjawab, “kang mas, apa yang bisa kau lakukan untuk membahagiakanku, jika aku menerima cintamu?”

“Si Jantan berkata; Andaikan kau menyuruhku untuk memindah kubah masjid nabi sulaiman ini, niscaya akan kulakukan, asal kau dapat hidup bahagia.”

“Mendengar dialog kedua burung itu, nabi sulaiman tersenyum, lalu memanggil si Pipit Jantan, ‘Hai Pipt, badanmu itu kecil, dengan apa kau hendak mengangkat kubah masjidku yang besar dan berat ini?, Tanya nabi sulaiman penasaran.”

”Si Jantan menjawab, ‘Wahai baginda Nabi Sulaiman as. Ketahuilah bahwa cinta itu berawal dari kepalsuan dan berakhir dengan kematian.”

”Jawaban burung pipit jantan itu membuat Nabi sulaiman tersenyum kecil, dan manggut-manggut”. Demikian kata Gus Erfan.
Ling Ling bertanya kepada ayahnya, “Lalu apa hubungannya dengan pertanyaanku?”.

“Anakku, Cinta membutuhkan pengorbanan yang tidak kecil, tetapi janganlah kau suka membohongi istrimu atas sesuatu yang tidak bisa kamu lakukan. Berjuanglah menurut kemampuanmu untuk mendapatkan rizki yang halal demi kecukupan keluargamu. Tetapi jangan sampai kau memaksakan diri terhadap sesuatu yang tidak mungkin bisa kamu lakukan. Karena, pada dasarnya rizki adalah hak Allah yang menentukannya. Dan kewajibanmu hanyalah berikhtiar secara penuh tanggung jawab”. Jelas Gus Erfan

“Anakku, berkata yang baik itu adalah jujur dan penuh ketulusan serta sopan santun yang sesuai dengan adat dan tradisi yang ada dilingkunganmu.”

”Ayah punya teman yang bernama Arif. Ia punya pengalaman. Ketika pengantin baru, Arif ingin mencontoh rasul sesuai yang terjadi di jamannya, lalu dia praktekkan. Di waktu malam pertama, dia memanggi istrinya, ‘Ya, Khumaira’!, duhai yang memiliki pipi merah delima!”.

”Istrinya menjawab; Ember!”

”Lalu dia ulang pertanyaannya, ‘Ya Khumaira’!”

”Istrinya menjawab lagi; ember!”

”Dia ulang sekali lagi, Ya, Khumaira’!”

”Istrinya menjawab semakin seru, “Taiii……!”

”Dari peristiwa itu, akhirnya aku berfikir bahwa dalam menjalankan syarIat, khususnya akhlak nabi, terkadang kita tidak bisa/ boleh melakukan tidak sama persis dengan yang dilakukan Oleh Rasulullah. Hal demikian, karena adanya perbedaan kultur dan jamannya”.

”Di sini, untuk menciptakan hubungan dengan perkataan yang baik itu, diperlukan komunikasi ideal, penuh kejujuran, dan kewajaran.”

”Andaikan kau memiliki istri yang berkulit hitam, kamu tidak boleh memanggilnya dengan sebutan ”Hitam”, karena itu akan dapat menyakitinya. Juga tidak baik, apabila kamu memanggilnya dengan sebutan, ”duhai istriku yang berkulit putih mulus”, padahal istrimu berkulit hitam. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan seorang istri pada pujian suaminya. Sebab pujianmu terasa mengada-ada, bahkan bisa menimbulkan kesan memperolok.”

“Cara yang baik adalah kamu memuji dengan mencari sisi-sisi kelebihannya dan menafikan atau tidak mengungkap sisi buruknya. Bukankah kebanyakan wanita itu suka dipuji?” demikian penjelasan Gus Erfan.
Mendegar wejangan sang ayah, Ling Ling hanya diam. Penuh seksama mencermati kataper kata. Pikiran Ling Ling pun berasosiasi. Lalu ia tuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan;

Suami adalah seorang pemimpin
Hendaknya memahami yang dipimpin
Memahami dengan penuh empati
Yang tumbuh dari ketulusan cinta kasih

Ketulusan kasih yang lahir dari budi
Berdasar syariat Illahi.
Syariat yang diekspresikan lewat komunikasi
Penuh ketulusan tanpa basa basi

Wahai sang suami mengertilah pada sang istri
Jauhkan dari segala keresahan dan sedih
Binalah dia untuk menggapai bahagia
Dalam pernak-pernik mahligai rumah tangga

Agar kelak dapat melahirkan keturunan
Yang dapat di eluh-eluhkan dan diandalkan
bermanfawat untuk negara
menjadi iman dalam agama

Setelah menuangkan uneg-unegnya dalam wujud tulisan, lalu Ling Ling mebaca sebuah ayat dalam QS. Al-Baqarah; “Wa lahunna Mistlulladzi ‘alaihinna bil ma’ruf, artinya, istri itu memiliki hak dari suaminya sama dengan kewajiban istri kepada suami dengan sebaik-baiknya”. Waallahu A’lam Bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar