A. PENDAHULUAN
Kabupaten
Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di Provinsi
Jawa Timur,
Indonesia.
Ibukotanya adalah Banyuwangi. Kabupaten ini terletak di ujung paling timur
Pulau Jawa, berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Selat Bali
di timur, Samudra Hindia di selatan serta Kabupaten Jember
dan Kabupaten Bondowoso di barat. Pelabuhan Ketapang
menghubungkan Pulau Jawa dengan Pelabuhan Gilimanuk
di Bali.
Kabupaten
Banyuwangi terdiri atas 24 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan
kelurahan. Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi terdiri dari: Pesanggaran, Siliragung, Bangorejo, Purwoharjo, Tegaldlimo, Muncar, Cluring, Gambiran, Tegalsari, Glenmore, Kalibaru, Genteng, Srono,
Rogojampi, Kabat,
Singojuruh, Sempu,
Songgon, Glagah, Licin,
Banyuwangi, Giri,
Kalipuro danWongsorejo.
Suku Using adalah penduduk asli Banyuwangi
atau juga disebut sebagai "wong Blambangan" dan merupakan penduduk
mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.
A. SEJARAH DAN CIKAL BAKAL WONG OSING/ BLAMBANGAN
Sejarah Suku Using diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit
sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam terutama Kesultanan
Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang
majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung
Bromo (Suku Tengger), Blambangan
(Suku Using) dan Bali.
Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Using yang masih
menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh
masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha seperti
halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan
tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan
kerajaan Mataram.
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan
kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan
masyarakat Using mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa.
Suku Using mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini
sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan
dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan
instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar
Suku Using dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan
di bagian atap bangunan.Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan
sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih
besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut
Puputan Bayu pada tahun 1771 M.
SEJARAH
PERANG BAYU ini jarang di ekspos oleh media sehingga sejarah ini seperti
tenggelam.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah para petinggi Majapahit berhasil
hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana, Blambangan, secara politik dan
kultural, menjadi bagian dari Bali atau, seperti yang diistilahkan oleh
beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan Bali”. Tetapi, pada tahun 1639,
kerajaan Mataram di Jawa Tengah menaklukkan Blambangan yang meskipun mendapat
bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak korban jiwa; rakyat
Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E. Haal, seperti yang
dikutip Anderson, 1982; 75). Di dalam kekuasaan Mataram inilah penduduk
Blambangan mulai diislamisasi, suatu perkembangan kultural yang banyak
pengaruhnya di kemudian hari dalam membentuk struktur sosial dan kebudayaan.
Perebutan Blambangan oleh Mataram dan Bali terus berlangsung dan saling
bergantian menguasai hingga berakhir ketika VOC berhasil menduduki Blambangan
pada tahun 1765.
Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan kekuatannya, di masa
penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang
demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga
akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas
Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang
ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan
sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan
tetap pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus
terjadi sampai berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu
yang tersisa, yaitu orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang
Bayu yang liar’ (Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat
menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi
dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi.
Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak
luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh
atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya (Epp, 1849:247). Anderson
(1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu
menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781. Dengan merujuk catatan
Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson mengatakan: “daerah inilah
barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah berpenduduk
padat yang telah dibinasakan sama sekali…”.
Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu ternyata justru membuat
rakyat Blambangan semakin patriotik dan mempunyai semangat resistensi yang
sangat kuat. Cortesao, seperti yang dikutip oleh Herusantosa (1987:13), dengan
merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat Blambangan sebagai rakyat yang
mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan selalu siap tempur, selalu ingin
dan berusaha membebaskan wilayahnya dari kekuasaan pihak lain”. Scholte
(1927:146) menyatakan:
“Sejarah
Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena
terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut,
seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan
akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam,
dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya
dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada
adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru”. Rakyat Blambangan,
seperti yang disebut-sebut dalam berbagai sumber di atas, itulah yang selama
ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong Using atau sisa-sisa wong blambangan.
B. BAHASA SUKU OSING/ BLAMBANGAN
Suku Osing mempunyai Bahasa Osing yang merupakan turunan langsung dari
Bahasa Jawa Kuno seperti halnya Bahasa Bali.
Bahasa Osing berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga bahasa Osing bukan merupakan
dialek dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa kalangan.
Bahasa Osing adalah bahasa yang dipertuturkan di daerah Banyuwangi,
Jawa Timur.
Secara linguistik,
bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Jawa dari cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.
Kata osing berasal dari kata tusing dalam bahasa Bali,
bahasa daerah tetangganya, yang berarti "tidak".
Bahasa Osing mempunyai keunikan dalam sistem pelafalannya, antara lain:
1.
Adanya diftong [ai] untuk vokal
[i] : semua leksikon berakhiran "i" pada bahasa Osing khususnya
Banyuwangi selalu terlafal "ai". Seperti misalnya "geni"
terbaca "genai", "bengi" terbaca "bengai",
"gedigi" (begini) terbaca "gedigai".
- Adanya diftong [au] untuk vokal [u]: leksikon berakhiran "u" hampir selalu terbaca "au". Seperti "gedigu" (begitu) terbaca "gedigau", "asu" terbaca "asau", "awu" terbaca "awau".
- Lafal konsonan [k] untuk konsonan [q]. Di Bahasa Jawa, terutama pada leksikon berakhiran huruf "k" selalu dilafalkan dengan glottal "q". Sedangkan di Bahasa Osing, justru tetap terbaca "k" yang artinya konsonan hambat velar. antara lain "apik" terbaca "apiK", "manuk", terbaca "manuK" dan seterusnya.
- Konsonan glotal [q] yang di Bahasa Jawa justru tidak ada seperti kata [piro'], [kiwo'] dan demikian seterusnya.
- Palatalisasi [y]. Dalam Bahasa Osing, kerap muncul pada leksikon yang mengandung [ba], [pa], [da], [wa]. Seperti "bapak" dilafalkan "byapak", "uwak" dilafalkan "uwyak", "embah" dilafalkan "embyah", "Banyuwangi" dilafalkan "byanyuwangai", "dhawuk" dibaca "dyawuk".
Bahasa Osing mempunyai banyak kesamaan dan memiliki kosakata Bahasa Jawa
Kuna yang masih tertinggal. Namun di wilayah Banyuwangi sendiri terdapat
variasi penggunaan dan kekunaan juga terlihat di situ. Varian yang dianggap
Kunoan terdapat utamanya diwilayah "Giri","Glagah" dan
"Licin", dimana
bahasa Osing di sana masih dianggap murni. Sedangkan Bahasa Osing di Kabupaten
Jember telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura. Serta pelafalan yang
berbeda dengan Bahasa Osing di Banyuwangi.
Di kalangan masyarakat Osing, dikenal dua gaya bahasa yang satu sama lain
ternyata tidak saling berhubungan. Yakni Cara Osing dan Cara Besiki.
Cara Osing adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari,
dan tidak mengenal bentuk Ngoko-Krama seperti layaknya Bahasa Jawa umumnya.
Yang menjadi pembedanya adalah pronomina yang disesuaikan dengan kedudukan
lawan bicara, misalnya :
1.
Siro wis madhyang?
= kamu sudah makan?
- Riko wis madhyang? = anda sudah makan?
- Hiro/Iro = digunakan/lawan bicara untuk yang lebih muda(umur)
- Siro = digunakan/lawan bicara untuk yang selevel(umur)
- Riko = digunakan/lawan bicara untuk yang di atas kita (umur)
- Ndiko = digunakan/lawan bicara untuk orang tua (bapak/ibu)
Sedangkan Cara Besiki adalah bentuk "Jawa Halus" yang
dianggap sebagai bentuk wicara ideal. akan tetapi penggunaannya tidak seperti
halnya masyarakat Jawa, Cara Besiki ini hanya dipergunakan untuk
kondisi-kondisi khusus yang bersifat keagamaan dan ritual, selain halnya
untuk acara pertemuan menjelang perkawinan.
Kosakata Bahasa Osing berakar langsung dari bahasa Jawa Kuna, di mana banyak
kata-kata kuna masih ditemukan di sana, di samping itu, pengaruh Bahasa Bali
juga sedikit signifikan terlihat dalam bahasa ini. Seperti kosakata sing
(tidak) dan bojog (monyet).
Pengaruh Bahasa Inggris juga masuk kedalam bahasa ini melalui
para tuan tanah yang pernah tinggal di kawasan tersebut, seperti dalam
kata :
1.
Sulung
dari kata so long namun bermakna duluan
- Nagud dari kata no good bermakna jelek
- Ngepos dari kata pause bermakna berhenti
- Enjong dari kata enjoy bermakna enak,menyenangkan
C. KEPERCAYAAN
SUKU OSING/
BLAMBANGAN
Pada awal terbentuknya masyarakat Using kepercayaan utama suku Using
adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit.
Namun berkembangnya kerajaan Islam di pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di
kalangan suku Using. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di
dalam masyarakat Using juga dipengaruhi oleh usaha VOC dalam menguasai
daerah Blambangan. Masyarakat Using mempunyai tradisi puputan, seperti
halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan
sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih
besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771
M.
D. DEMOGRAFI
Suku Using menempati beberapa kecamatan di kabupaten Banyuwangi
bagian tengah dan bagian utara, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan
Rogojampi,kecamatan singonjuruh,temuguruh Kecamatan Glagah dan Kecamatan
Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon.
Komunitas Using atau lebih dikenal sebagai wong Using oleh beberapa kalangan
dan hasil penelitian1 dianggap sebagai penduduk asli2 Banyuwangi, sebuah wilayah
di ujung paling timur pulau Jawa yang juga dikenal sebagai Blambangan.
Komunitas ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur
Banyuwangi yang secara administratif merupakan kecamatan-kematan Giri, Kabat,
Glagah, Rogojampi, Singojuruh, Songgon, Cluring, Banyuwangi Kota, Genteng, dan
Srono. Di tiga kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk
non-Using, migran berasal dari bagian barat Jawa Timur dan Jawa Tengah,
termasuk Yogyakarta (wong Using menyebutnya wong Jawa-Kulon).
Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur. Luasnya 5.782,50 km2.
Wilayahnya cukup beragam, dari dataran rendah hingga pegunungan. Kawasan
perbatasan dengan Kabupaten Bondowoso, terdapat rangkaian Dataran Tinggi Ijen dengan
puncaknya Gunung Raung (3.282 m) dan Gunung Merapi
(2.800 m), keduanya adalah gunung api aktif.
Bagian selatan terdapat perkebunan, peninggalan sejak zaman Hindia
Belanda. Di perbatasan dengan Kabupaten Jember bagian selatan,
merupakan kawasan konservasi yang kini dilindungi dalam sebuah cagar alam,
yakni Taman Nasional Meru Betiri. Pantai
Sukamade merupakan kawasan pengembangan penyu. Di Semenanjung Blambangan juga terdapat cagar
alam, yaitu Taman Nasional Alas Purwo.
Pantai timur Banyuwangi (Selat Bali) merupakan salah satu penghasil ikan
terbesar di Jawa Timur. Di Muncar terdapat pelabuhan perikanan.
Ibukota Kabupaten Banyuwangi berjarak 239 km sebelah timur Surabaya.
Banyuwangi merupakan ujung paling timur jalur pantura
serta titik paling timur jalur kereta api Pulau Jawa. Pelabuhan Ketapang
terletak di kota Banyuwangi bagian utara, menghubungkan Jawa dan Bali dengan
kapal ferry, LCM, roro dan tongkang.
Dari Surabaya, Kabupaten Banyuwangi dapat dicapai dari dua jalur jalan
darat, jalur utara dan jalur selatan. Jalur utara merupakan bagian dari jalur
pantura yang membentang dari Anyer hingga pelabuhan Panarukan dan melewati
kabupaten Situbondo. Sedangkan jalur selatan merupakan pecahan dari jalur
pantura dari Kabupaten Probolinggo melewati Kabupaten Lumajang
dan Kabupaten Jember
di kedua jalur tersebut tersedia bus eksekutif (pattas) maupun ekonomi.
Terdapat pula moda transportasi darat lainnya, yaitu jalur kereta api
Surabaya - Pasuruan - Probolinggo - Jember dan berakhir di Banyuwangi.
Untuk transportasi wilayah perkotaan terdapat moda angkutan mikrolet,
taksi Using Transport serta colt yang melayani transportasi antar
kecamatan dan minibus yang melayani trayek Banyuwangi dengan kota-kota
kabupaten di sekitarnya.
Bandar Udara Blimbingsari di kecamatan Rogojampi dalam
pembangunannya sempat tersendat akibat kasus pembebasan lahan, dan memakan
korban 2 bupati yang menjabat dalam masa pembangunannya yaitu Bupati Samsul
Hadi dan Bupati Ratna Ani Lestari. Dan pada tanggal 28 Desember 2010, Bandar Udara
Blimbingsari telah dibuka untuk penerbangan komersial Banyuwangi (BWW) -
Denpasar (DPS) - Banyuwangi (BWW) dan Banyuwangi (BWW) - Surabaya (SUB) -
Banyuwangi (SUB), per tanggal 24 Agustus 2011 Maskapai Merpati Airlines membuka
penerbangan dari Banyuwangi dengan tujuan Surabaya, Semarang, dan Bandung.
Penduduk Banyuwangi cukup beragam. Mayoritas adalah Suku Osing,
namun terdapat Suku Madura (kecamatan Wongsorejo, Bajulmati,
Glenmore dan Kalibaru) dan Suku Jawa yang cukup signifikan, serta terdapat
minoritas Suku Bali
dan Suku Bugis.
Suku Osing merupakan penduduk asli kabupaten Banyuwangi dan bisa dianggap
sebagai sebuah sub-suku dari suku Jawa. Mereka menggunakan Bahasa Osing, yang
dikenal sebagai salah satu ragam tertua Bahasa Jawa. Kesenian asal Banyuwangi
adalah kuntulan,
gandrung , jaranan,
barong, janger dan seblang. Suku Osing Banyak mendiami di Kecamatan Rogojampi,
Songgon, Kabat, Glagah, Giri, Kalipuro, Kota serta sebagian kecil di kecamatan
lain.
Bahasa dan budaya suku Osing banyak dipengaruhi oleh bahasa dan budaya
Bali.
Banyuwangi memiliki banyak obyek wisata, antara lain: Taman Nasional Alas
Purwo, Kawah Ijen, Pantai Grajagan, Pantai Plengkung, Pantai Rajegwesi, Pantai
Sukamade, Pantai Trianggulasi, Pantai Blimbingsari, Pulau Merah, Watu Dodol, Taman
Nasional Baluran, Telaga Umbul Pule, Air Terjun Lider, Kali Klatak, Kolam
Renang Jatisrono, Gumuk Kancil, Air Terjun Wonorejo, Perkebunan dan Air Terjun
Kalibendo, Pemandian Taman Suruh, Mirah Fantasia Waterboom dan Istana Burung, Alam
Indah Lestari (AIL) Rogojampi, Taman Wisata Pancoran Rogojampi, Desa Wisata
Osing, Pantai Bedul, dan sebagainya.
E. PROFESI SUKU OSING/ BLAMBANGAN
Profesi utama Suku Using adalah petani, dengan sebagian kecil lainya
adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai
pemda.
F. STRATIFIKASI SUKU OSING/ BLAMBANGAN
Suku Using berbeda dengan Suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Using tidak
mengenal kasta
seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang
dianut oleh sebagian besar penduduknya.
G. SENI SUKU OSING/ BLAMBANGAN
Kesenian Suku Using sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik
seperti kerabatnya suku bali dan suku tengger. Kesenian
utamanya antara lain Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong, Kuntulan, Kendang
Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk dan Jedor.
Kabupaten Banyuwangi selain menjadi perlintasan dari Jawa ke Bali, juga
merupakan daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai wilayah.
Budaya masyarakat Banyuwangi diwarnai oleh budaya Jawa, Bali, Madura,
Melayu,
Eropa dan budaya lokal yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi tipikal
yang tidak ditemui di wilayah manapun di Pulau Jawa.
Kesenian tradisional khas Banyuwangi antara lain: Gandrung Banyuwangi, Seblang,
Janger,
Rengganis,
Hadrah Kunthulan, Patrol, Mocopatan Pacul Goang, Jaranan Butho, Barong, Kebo-Keboan, Angklung Caruk, Gedhogan, Batik dan sebagainya.
Jenis kesenian tadi merupakan sebagian dari kesenian khas Banyuwangi yang
masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat setempat.Gamelan Banyuwangi
khususnya yang dipakai dalam tari Gandrung memiliki kekhasan dengan adanya
kedua biola, yang salah satunya dijadikan sebagai pantus atau pemimpin lagu.
Menurut sejarahnya, pada sekitar abad ke-19, seorang Eropa menyaksikan
pertunjukan Seblang (atau Gandrung) yang diiringi dengan suling. Kemudian orang
tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola yang dia bawa waktu itu, pada
saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi dengan biola, orang-orang sekitar
terpesona dengan irama menyayat yang dihasilkan biola tersebut. Sejak itu,
biola mulai menggeser suling karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang
tidak mungkin dikeluarkan oleh suling.
Selain itu, gamelan ini juga menggunakan "kluncing" (triangle),
yakni alat musik berbentuk segitiga yang dibuat dari kawat besi tebal, dan
dibunyikan dengan alat pemukul dari bahan yang sama.
Kemudian terdapat "kendhang" yang jumlahnya bisa satu atau dua.
Kendhang yang dipakai di Banyuwangi hampir serupa dengan kendhang yang dipakai
dalam gamelan Sunda maupun Bali. Fungsinya adalah menjadi komando dalam musik,
dan sekaligus memberi efek musical di semua sisi.
Alat berikutnya adalah "kethuk". Terbuat dari besi, berjumlah
dua buah dan dibuat berbeda ukuran sesuai dengan larasannya. "Kethuk
estri" (feminine) adalah yang besar, atau dalam gamelan Jawa
disebut Slendro. Sedangkan "kethuk jaler" (maskulin) dilaras
lebih tinggi satu kempyung (kwint). Fungsi kethuk disini bukan sekedar sebagai
instrumen ‘penguat atau penjaga irama’ seperti halnya pada gamelan Jawa, namun
tergabung dengan kluncing untuk mengikuti pola tabuhan kendang.
Sedangkan "kempul" atau gong, dalam gamelan Banyuwangi
(khususnya Gandrung) hanya terdiri dari satu instrumen gong besi. Kadang juga
diselingi dengan "saron bali" dan "angklung".
Selain Gamelan untuk Gandrung ini, gamelan yang dipakai untuk pertunjukan
Angklung Caruk agar berbeda dengan Gandrung, karena ada tambahan angklung bambu
yang dilaras sesuai tinggi nadanya. Untuk patrol, semua alat musiknya terbuat
dari bambu. Bahkan untuk pertunjukan Janger, digunakan gamelan Bali, dan
Rengganis gamelan Jawa lengkap. Sedang khusus kesenian Hadrah Kunthulan,
digunakan rebana, beduk, kendhang, biola dan kadang bonang (atau dalam gamelan
Bali disebut Reong).
Modernisasi pun tidak terelakkan dalam seni musik Banyuwangi, muncul
berbagai varian musik yang merupakan paduan tradisional dan modern, seperti
Kunthulan Kreasi, Gandrung Kreasi, Kendhang Kempul Kreasi dan Janger Campursari
yang memasukkan unsure elekton kedalam musiknya, dan menjadi kesenian popular
di kalangan masyarakat. Namun demikian, sebagian pakar kebudayaan
mengkhawatirkan seni kreasi ini akan menggeser kesenian klasik yang sudah
berkembang selama berratus-ratus tahun.
Masakan khas adalah Rujak Soto perpaduan Rujak Uleg Jawa Timur yang
disiram dengan kuah Soto Babat serta ditaburi emping mlinjo serta sego tempong
nasi campur kas Banyuwangi. Oleh-oleh khas ialah Sale pisang Ambon yang banyak
diproduksi di kecamatan Songgon serta kue bagiak kue kering yang berbahan dasar
tepung sagu.
Sego Tempong adalah nasi dengan sayur-sayuran atau Kulupan(jawa) dengan sambal
super pedas biasanya dengan ikan asin. dinamakan sego tempong karena sensasi
sambalnya seperti di tampar.
Sego Cawuk/Sego janganan adalah nasi dengan sayur yang terbuat dari
kelapa diparut dengan sambal/gecok, konon ini adalah menu favorit Syekh Siti
Jenar.
H. DESA ADAT KEMIREN
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku Using yang
cukup besar dengan menetapkan desa Kemiren di kecamatan Glagah sebagai desa
adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya suku Using. Desa
kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup diminati di kalangan masyarakat
Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya
sering diadakan di desa ini.
I. RITUAL
TUMPENG SEWU
ritual selamatan "tumpeng
sewu" (nasi yg dihidangkan dalam bentuk seperti kerucut sebanyak seribu)
di desa setempat, Kamis.
ritual tumpeng sewu merupakan ritual
turun temurun suku Osing di Desa Kemiren sebagai ungkapan rasa syukur atas
rezeki yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa selama satu tahun.
Tradisi tumpeng sewu juga dipercaya
dapat menjauhkan warga desa dari malapetaka dan ritual itu sekaligus untuk
menghormati datangnya bulan haji atau Dzulhijjah.
Acara selamatan tumpeng sewu merupakan
adat bersih desa yang biasa digelar setiap bulan haji dan selalu dilakukan oleh
warga Desa Kemiren.
Mereka meyakini apabila ritual itu
ditinggalkan, maka akan berdampak buruk kepada masyarakat sehingga warga Osing
menjaga tradisi itu hingga turun temurun.
Menurut cerita rakyat setempat,
selamatan tumpeng sewu tersebut berawal dari cerita seseorang yang menjerit
meminta tolong karena kesakitan dan warga yang mendengar jeritan tersebut
spontan mencari orang yang minta tolong.
Warga yang menjerit tersebut adalah Mbah
Ramisin yang sedang kesurupan, kemudian Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya
adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat
melakukan selamatan satu tahun sekali.
Dalam acara selamatan itu, warga juga
berdoa agar warga dijauhkan dari segala
bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan
selamatan tolak bala.
Sebelum acara selamatan digelar,
warga biasanya melakukan ritual menjemur
kasur secara massal pada siang hari karena dipercaya sumber penyakit berada di
tempat tidur.
Warga Osing beranggapan bahwa sumber
penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman
rumah masing-masing, agar terhindar dari segala jenis penyakit.
Dalam acara tumpeng sewu tersebut, warga
Osing setempat duduk lesehan di sepanjang jalan dengan mengunakan penerangan
obor dan makanan yang dihidangkan berupa nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk
khas suku Osing yakni pecel ayam.
J. RITUAL
SEBLANG
Seblang adalah sebuat ritual tradisional khas suku Osing. Untuk lebih
mudahnya biasa di sebut saja sebagai tarian Seblang, karena di beberapa aspek
nya memperlihatkan tari-tarian untuk mengucap syukur dan tolak bala agar desa
tetap aman dan tentram.
Ritual Seblang hanya akan dijumpai di dua desa di Banyuwangi yaitu desa
Bakungan dan Olihsari, yang keduanya masuk dalam kecamatan Glagah.
Pelaksanaan tari Sableng berbeda antara desa Bakungan dan desa Olihsari.
Untuk masyarakat di desa Olihsari diselenggarakan saat satu minggu setelah Idul
Fitri, sedangkan di desa Bakungan diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.
Untuk para penari yang akan membawakan tarian Seblang haruslah keturunan
dari penari sebelumnya dan di pilih langsung oleh 'dukun'setempat. Ketentuan di
desa Olihsari, penari harus dalam usia sebelum akil balik, sedangkan di
Bakungan penari haruslah wanita berusia 50 tahun keatas, atau yang telah
Menopause.
Tari ini melambangkan kesakralan, ritual pertemuan dua dunia, sekaligus
sebagai rasa syukur atas karunia yang diberikan oleh sang Pencipta dan juga
menjadi permohonan untuk tolak bala. Di arena tempat diadakannya ritual Seblang
ini, ada pula amben, semacam meja kecil tempat menaruh boneka nini towok,
bunga-bunga yang nantinya akan dijual pada penonton, hiasan dari janur, tebu,
padi hingga sesajen.
Hiasan padi, tebu dan tanaman pangan lainnya adalah melambangkan
kesuburan yang patut disyukuri. Sedangkan, boneka nini towok, dalam beberapa
kepercayaan di Jawa, adalah merupakan simbol padi dan kesuburan. Di kanan-kiri
amben, tampak duduk berjejer para pemangku adat dan juga master of ceremony.
K.
AGAMA DAN BUDAYA
Kebanyakan orang Osing adalah penganut agama Islam abangan dan Hindu, dan keduanya bercampuran dengan elemen-elemen animisme. Budaya Osing serupa dengan budaya Bali, dan penganut
Hindu Osing merayakan perayaan Hindu Bali seperti Nyepi. Adalah menjadi kebiasaan untuk
melihat masjid dan kuil Hindu dibina berdekatan satu dengan lain di
Banyuwangi. Sekitar 2-3,000 daripada mereka adalah penganut agama Kristian yang telah dicampuradukkan dengan ajaran Islam dan
Hindu.
DAFTAR PUSTAKA
Perpres No. 6 Tahun 2011". 17 Februari
2011.
http://www.djpk.depkeu.go.id/regulation/27/tahun/2011/bulan/02/tanggal/17/id/590/. Diakses pada
23 Mei 2011.
Potensi
Pariwisata dan Produk Unggulan Jawa Timur
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/74881/suku-osing-banyuwangi-gelar-ritual-tumpeng-sewu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar