Rabu, 12 Desember 2012

SUKU OSING


A.    PENDAHULUAN
Kabupaten Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Banyuwangi. Kabupaten ini terletak di ujung paling timur Pulau Jawa, berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan serta Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso di barat. Pelabuhan Ketapang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pelabuhan Gilimanuk di Bali.
Kabupaten Banyuwangi terdiri atas 24 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi terdiri dari: Pesanggaran, Siliragung, Bangorejo, Purwoharjo, Tegaldlimo, Muncar, Cluring, Gambiran, Tegalsari, Glenmore, Kalibaru, Genteng, Srono, Rogojampi, Kabat, Singojuruh, Sempu, Songgon, Glagah, Licin, Banyuwangi, Giri, Kalipuro danWongsorejo.
Suku Using adalah penduduk asli Banyuwangi atau juga disebut sebagai "wong Blambangan" dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.

A.    SEJARAH DAN CIKAL BAKAL WONG OSING/ BLAMBANGAN

Sejarah Suku Using diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Using) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Using yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Using mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Using mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Using dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan.Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.
SEJARAH PERANG BAYU ini jarang di ekspos oleh media sehingga sejarah ini seperti tenggelam.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah para petinggi Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana, Blambangan, secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali atau, seperti yang diistilahkan oleh beberapa sejarawan, “di bawah perlindungan Bali”. Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah menaklukkan Blambangan yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75). Di dalam kekuasaan Mataram inilah penduduk Blambangan mulai diislamisasi, suatu perkembangan kultural yang banyak pengaruhnya di kemudian hari dalam membentuk struktur sosial dan kebudayaan. Perebutan Blambangan oleh Mataram dan Bali terus berlangsung dan saling bergantian menguasai hingga berakhir ketika VOC berhasil menduduki Blambangan pada tahun 1765.
Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan kekuatannya, di masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai ‘orang-orang Bayu yang liar’ (Lekkerker, 1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi.
Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya (Epp, 1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781. Dengan merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson mengatakan: “daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali…”.
Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin patriotik dan mempunyai semangat resistensi yang sangat kuat. Cortesao, seperti yang dikutip oleh Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari kekuasaan pihak lain”. Scholte (1927:146) menyatakan:
“Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru”. Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai sumber di atas, itulah yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong Using atau sisa-sisa wong blambangan.

B.     BAHASA SUKU OSING/ BLAMBANGAN

Suku Osing mempunyai Bahasa Osing yang merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Kuno seperti halnya Bahasa Bali. Bahasa Osing berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga bahasa Osing bukan merupakan dialek dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa kalangan.
Bahasa Osing adalah bahasa yang dipertuturkan di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Secara linguistik, bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Jawa dari cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.
Kata osing berasal dari kata tusing dalam bahasa Bali, bahasa daerah tetangganya, yang berarti "tidak".
Bahasa Osing mempunyai keunikan dalam sistem pelafalannya, antara lain:
1.       Adanya diftong [ai] untuk vokal [i] : semua leksikon berakhiran "i" pada bahasa Osing khususnya Banyuwangi selalu terlafal "ai". Seperti misalnya "geni" terbaca "genai", "bengi" terbaca "bengai", "gedigi" (begini) terbaca "gedigai".
  1. Adanya diftong [au] untuk vokal [u]: leksikon berakhiran "u" hampir selalu terbaca "au". Seperti "gedigu" (begitu) terbaca "gedigau", "asu" terbaca "asau", "awu" terbaca "awau".
  2. Lafal konsonan [k] untuk konsonan [q]. Di Bahasa Jawa, terutama pada leksikon berakhiran huruf "k" selalu dilafalkan dengan glottal "q". Sedangkan di Bahasa Osing, justru tetap terbaca "k" yang artinya konsonan hambat velar. antara lain "apik" terbaca "apiK", "manuk", terbaca "manuK" dan seterusnya.
  3. Konsonan glotal [q] yang di Bahasa Jawa justru tidak ada seperti kata [piro'], [kiwo'] dan demikian seterusnya.
  4. Palatalisasi [y]. Dalam Bahasa Osing, kerap muncul pada leksikon yang mengandung [ba], [pa], [da], [wa]. Seperti "bapak" dilafalkan "byapak", "uwak" dilafalkan "uwyak", "embah" dilafalkan "embyah", "Banyuwangi" dilafalkan "byanyuwangai", "dhawuk" dibaca "dyawuk".
Bahasa Osing mempunyai banyak kesamaan dan memiliki kosakata Bahasa Jawa Kuna yang masih tertinggal. Namun di wilayah Banyuwangi sendiri terdapat variasi penggunaan dan kekunaan juga terlihat di situ. Varian yang dianggap Kunoan terdapat utamanya diwilayah "Giri","Glagah" dan "Licin", dimana bahasa Osing di sana masih dianggap murni. Sedangkan Bahasa Osing di Kabupaten Jember telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura. Serta pelafalan yang berbeda dengan Bahasa Osing di Banyuwangi.
Di kalangan masyarakat Osing, dikenal dua gaya bahasa yang satu sama lain ternyata tidak saling berhubungan. Yakni Cara Osing dan Cara Besiki. Cara Osing adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak mengenal bentuk Ngoko-Krama seperti layaknya Bahasa Jawa umumnya. Yang menjadi pembedanya adalah pronomina yang disesuaikan dengan kedudukan lawan bicara, misalnya :
1.       Siro wis madhyang? = kamu sudah makan?
  1. Riko wis madhyang? = anda sudah makan?
  2. Hiro/Iro = digunakan/lawan bicara untuk yang lebih muda(umur)
  3. Siro = digunakan/lawan bicara untuk yang selevel(umur)
  4. Riko = digunakan/lawan bicara untuk yang di atas kita (umur)
  5. Ndiko = digunakan/lawan bicara untuk orang tua (bapak/ibu)
Sedangkan Cara Besiki adalah bentuk "Jawa Halus" yang dianggap sebagai bentuk wicara ideal. akan tetapi penggunaannya tidak seperti halnya masyarakat Jawa, Cara Besiki ini hanya dipergunakan untuk kondisi-kondisi khusus yang bersifat keagamaan dan ritual, selain halnya untuk acara pertemuan menjelang perkawinan.
Kosakata Bahasa Osing berakar langsung dari bahasa Jawa Kuna, di mana banyak kata-kata kuna masih ditemukan di sana, di samping itu, pengaruh Bahasa Bali juga sedikit signifikan terlihat dalam bahasa ini. Seperti kosakata sing (tidak) dan bojog (monyet).
Pengaruh Bahasa Inggris juga masuk kedalam bahasa ini melalui para tuan tanah yang pernah tinggal di kawasan tersebut, seperti dalam kata :
1.       Sulung dari kata so long namun bermakna duluan
  1. Nagud dari kata no good bermakna jelek
  2. Ngepos dari kata pause bermakna berhenti
  3. Enjong dari kata enjoy bermakna enak,menyenangkan
C.     KEPERCAYAAN  SUKU OSING/ BLAMBANGAN
Pada awal terbentuknya masyarakat Using kepercayaan utama suku Using adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Using. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Using juga dipengaruhi oleh usaha VOC dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Using mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.

D.    DEMOGRAFI

Suku Using menempati beberapa kecamatan di kabupaten Banyuwangi bagian tengah dan bagian utara, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi,kecamatan singonjuruh,temuguruh Kecamatan Glagah dan Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon. Komunitas Using atau lebih dikenal sebagai wong Using oleh beberapa kalangan dan hasil penelitian1 dianggap sebagai penduduk asli2 Banyuwangi, sebuah wilayah di ujung paling timur pulau Jawa yang juga dikenal sebagai Blambangan. Komunitas ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur Banyuwangi yang secara administratif merupakan kecamatan-kematan Giri, Kabat, Glagah, Rogojampi, Singojuruh, Songgon, Cluring, Banyuwangi Kota, Genteng, dan Srono. Di tiga kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk non-Using, migran berasal dari bagian barat Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta (wong Using menyebutnya wong Jawa-Kulon).
Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur. Luasnya 5.782,50 km2. Wilayahnya cukup beragam, dari dataran rendah hingga pegunungan. Kawasan perbatasan dengan Kabupaten Bondowoso, terdapat rangkaian Dataran Tinggi Ijen dengan puncaknya Gunung Raung (3.282 m) dan Gunung Merapi (2.800 m), keduanya adalah gunung api aktif.
Bagian selatan terdapat perkebunan, peninggalan sejak zaman Hindia Belanda. Di perbatasan dengan Kabupaten Jember bagian selatan, merupakan kawasan konservasi yang kini dilindungi dalam sebuah cagar alam, yakni Taman Nasional Meru Betiri. Pantai Sukamade merupakan kawasan pengembangan penyu. Di Semenanjung Blambangan juga terdapat cagar alam, yaitu Taman Nasional Alas Purwo.
Pantai timur Banyuwangi (Selat Bali) merupakan salah satu penghasil ikan terbesar di Jawa Timur. Di Muncar terdapat pelabuhan perikanan.
Ibukota Kabupaten Banyuwangi berjarak 239 km sebelah timur Surabaya. Banyuwangi merupakan ujung paling timur jalur pantura serta titik paling timur jalur kereta api Pulau Jawa. Pelabuhan Ketapang terletak di kota Banyuwangi bagian utara, menghubungkan Jawa dan Bali dengan kapal ferry, LCM, roro dan tongkang.
Dari Surabaya, Kabupaten Banyuwangi dapat dicapai dari dua jalur jalan darat, jalur utara dan jalur selatan. Jalur utara merupakan bagian dari jalur pantura yang membentang dari Anyer hingga pelabuhan Panarukan dan melewati kabupaten Situbondo. Sedangkan jalur selatan merupakan pecahan dari jalur pantura dari Kabupaten Probolinggo melewati Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember di kedua jalur tersebut tersedia bus eksekutif (pattas) maupun ekonomi.
Terdapat pula moda transportasi darat lainnya, yaitu jalur kereta api Surabaya - Pasuruan - Probolinggo - Jember dan berakhir di Banyuwangi.
Untuk transportasi wilayah perkotaan terdapat moda angkutan mikrolet, taksi Using Transport serta colt yang melayani transportasi antar kecamatan dan minibus yang melayani trayek Banyuwangi dengan kota-kota kabupaten di sekitarnya.
Bandar Udara Blimbingsari di kecamatan Rogojampi dalam pembangunannya sempat tersendat akibat kasus pembebasan lahan, dan memakan korban 2 bupati yang menjabat dalam masa pembangunannya yaitu Bupati Samsul Hadi dan Bupati Ratna Ani Lestari. Dan pada tanggal 28 Desember 2010, Bandar Udara Blimbingsari telah dibuka untuk penerbangan komersial Banyuwangi (BWW) - Denpasar (DPS) - Banyuwangi (BWW) dan Banyuwangi (BWW) - Surabaya (SUB) - Banyuwangi (SUB), per tanggal 24 Agustus 2011 Maskapai Merpati Airlines membuka penerbangan dari Banyuwangi dengan tujuan Surabaya, Semarang, dan Bandung.
Penduduk Banyuwangi cukup beragam. Mayoritas adalah Suku Osing, namun terdapat Suku Madura (kecamatan Wongsorejo, Bajulmati, Glenmore dan Kalibaru) dan Suku Jawa yang cukup signifikan, serta terdapat minoritas Suku Bali dan Suku Bugis. Suku Osing merupakan penduduk asli kabupaten Banyuwangi dan bisa dianggap sebagai sebuah sub-suku dari suku Jawa. Mereka menggunakan Bahasa Osing, yang dikenal sebagai salah satu ragam tertua Bahasa Jawa. Kesenian asal Banyuwangi adalah kuntulan, gandrung , jaranan, barong, janger dan seblang. Suku Osing Banyak mendiami di Kecamatan Rogojampi, Songgon, Kabat, Glagah, Giri, Kalipuro, Kota serta sebagian kecil di kecamatan lain.
Bahasa dan budaya suku Osing banyak dipengaruhi oleh bahasa dan budaya Bali.
Banyuwangi memiliki banyak obyek wisata, antara lain: Taman Nasional Alas Purwo, Kawah Ijen, Pantai Grajagan, Pantai Plengkung, Pantai Rajegwesi, Pantai Sukamade, Pantai Trianggulasi, Pantai Blimbingsari, Pulau Merah, Watu Dodol, Taman Nasional Baluran, Telaga Umbul Pule, Air Terjun Lider, Kali Klatak, Kolam Renang Jatisrono, Gumuk Kancil, Air Terjun Wonorejo, Perkebunan dan Air Terjun Kalibendo, Pemandian Taman Suruh, Mirah Fantasia Waterboom dan Istana Burung, Alam Indah Lestari (AIL) Rogojampi, Taman Wisata Pancoran Rogojampi, Desa Wisata Osing, Pantai Bedul, dan sebagainya.

E.     PROFESI SUKU OSING/ BLAMBANGAN

Profesi utama Suku Using adalah petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.


F.      STRATIFIKASI SUKU OSING/ BLAMBANGAN

Suku Using berbeda dengan Suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Using tidak mengenal kasta seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduknya.

G.    SENI SUKU OSING/ BLAMBANGAN

Kesenian Suku Using sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya suku bali dan suku tengger. Kesenian utamanya antara lain Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong, Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk dan Jedor.
Kabupaten Banyuwangi selain menjadi perlintasan dari Jawa ke Bali, juga merupakan daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai wilayah. Budaya masyarakat Banyuwangi diwarnai oleh budaya Jawa, Bali, Madura, Melayu, Eropa dan budaya lokal yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi tipikal yang tidak ditemui di wilayah manapun di Pulau Jawa.
Jenis kesenian tadi merupakan sebagian dari kesenian khas Banyuwangi yang masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat setempat.Gamelan Banyuwangi khususnya yang dipakai dalam tari Gandrung memiliki kekhasan dengan adanya kedua biola, yang salah satunya dijadikan sebagai pantus atau pemimpin lagu. Menurut sejarahnya, pada sekitar abad ke-19, seorang Eropa menyaksikan pertunjukan Seblang (atau Gandrung) yang diiringi dengan suling. Kemudian orang tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola yang dia bawa waktu itu, pada saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi dengan biola, orang-orang sekitar terpesona dengan irama menyayat yang dihasilkan biola tersebut. Sejak itu, biola mulai menggeser suling karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang tidak mungkin dikeluarkan oleh suling.
Selain itu, gamelan ini juga menggunakan "kluncing" (triangle), yakni alat musik berbentuk segitiga yang dibuat dari kawat besi tebal, dan dibunyikan dengan alat pemukul dari bahan yang sama.
Kemudian terdapat "kendhang" yang jumlahnya bisa satu atau dua. Kendhang yang dipakai di Banyuwangi hampir serupa dengan kendhang yang dipakai dalam gamelan Sunda maupun Bali. Fungsinya adalah menjadi komando dalam musik, dan sekaligus memberi efek musical di semua sisi.
Alat berikutnya adalah "kethuk". Terbuat dari besi, berjumlah dua buah dan dibuat berbeda ukuran sesuai dengan larasannya. "Kethuk estri" (feminine) adalah yang besar, atau dalam gamelan Jawa disebut Slendro. Sedangkan "kethuk jaler" (maskulin) dilaras lebih tinggi satu kempyung (kwint). Fungsi kethuk disini bukan sekedar sebagai instrumen ‘penguat atau penjaga irama’ seperti halnya pada gamelan Jawa, namun tergabung dengan kluncing untuk mengikuti pola tabuhan kendang.
Sedangkan "kempul" atau gong, dalam gamelan Banyuwangi (khususnya Gandrung) hanya terdiri dari satu instrumen gong besi. Kadang juga diselingi dengan "saron bali" dan "angklung".
Selain Gamelan untuk Gandrung ini, gamelan yang dipakai untuk pertunjukan Angklung Caruk agar berbeda dengan Gandrung, karena ada tambahan angklung bambu yang dilaras sesuai tinggi nadanya. Untuk patrol, semua alat musiknya terbuat dari bambu. Bahkan untuk pertunjukan Janger, digunakan gamelan Bali, dan Rengganis gamelan Jawa lengkap. Sedang khusus kesenian Hadrah Kunthulan, digunakan rebana, beduk, kendhang, biola dan kadang bonang (atau dalam gamelan Bali disebut Reong).
Modernisasi pun tidak terelakkan dalam seni musik Banyuwangi, muncul berbagai varian musik yang merupakan paduan tradisional dan modern, seperti Kunthulan Kreasi, Gandrung Kreasi, Kendhang Kempul Kreasi dan Janger Campursari yang memasukkan unsure elekton kedalam musiknya, dan menjadi kesenian popular di kalangan masyarakat. Namun demikian, sebagian pakar kebudayaan mengkhawatirkan seni kreasi ini akan menggeser kesenian klasik yang sudah berkembang selama berratus-ratus tahun.
Masakan khas adalah Rujak Soto perpaduan Rujak Uleg Jawa Timur yang disiram dengan kuah Soto Babat serta ditaburi emping mlinjo serta sego tempong nasi campur kas Banyuwangi. Oleh-oleh khas ialah Sale pisang Ambon yang banyak diproduksi di kecamatan Songgon serta kue bagiak kue kering yang berbahan dasar tepung sagu.
Sego Tempong adalah nasi dengan sayur-sayuran atau Kulupan(jawa) dengan sambal super pedas biasanya dengan ikan asin. dinamakan sego tempong karena sensasi sambalnya seperti di tampar.
Sego Cawuk/Sego janganan adalah nasi dengan sayur yang terbuat dari kelapa diparut dengan sambal/gecok, konon ini adalah menu favorit Syekh Siti Jenar.

H.    DESA ADAT KEMIREN

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku Using yang cukup besar dengan menetapkan desa Kemiren di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya suku Using. Desa kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup diminati di kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa ini.
I.       RITUAL TUMPENG SEWU
ritual selamatan "tumpeng sewu" (nasi yg dihidangkan dalam bentuk seperti kerucut sebanyak seribu) di desa setempat, Kamis.
ritual tumpeng sewu merupakan ritual turun temurun suku Osing di Desa Kemiren sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa selama satu tahun.
Tradisi tumpeng sewu juga dipercaya dapat menjauhkan warga desa dari malapetaka dan ritual itu sekaligus untuk menghormati datangnya bulan haji atau Dzulhijjah.
Acara selamatan tumpeng sewu merupakan adat bersih desa yang biasa digelar setiap bulan haji dan selalu dilakukan oleh warga Desa Kemiren.
Mereka meyakini apabila ritual itu ditinggalkan, maka akan berdampak buruk kepada masyarakat sehingga warga Osing menjaga tradisi itu hingga turun temurun.
Menurut cerita rakyat setempat, selamatan tumpeng sewu tersebut berawal dari cerita seseorang yang menjerit meminta tolong karena kesakitan dan warga yang mendengar jeritan tersebut spontan mencari orang yang minta tolong.
Warga yang menjerit tersebut adalah Mbah Ramisin yang sedang kesurupan, kemudian Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat melakukan selamatan satu tahun sekali.
Dalam acara selamatan itu, warga juga berdoa agar warga  dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala.
Sebelum acara selamatan digelar, warga  biasanya melakukan ritual menjemur kasur secara massal pada siang hari karena dipercaya sumber penyakit berada di tempat tidur.
Warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing, agar terhindar dari segala jenis penyakit.
Dalam acara tumpeng sewu tersebut, warga Osing setempat duduk lesehan di sepanjang jalan dengan mengunakan penerangan obor dan makanan yang dihidangkan berupa nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk khas suku Osing yakni pecel ayam.
J.       RITUAL SEBLANG
Seblang adalah sebuat ritual tradisional khas suku Osing. Untuk lebih mudahnya biasa di sebut saja sebagai tarian Seblang, karena di beberapa aspek nya memperlihatkan tari-tarian untuk mengucap syukur dan tolak bala agar desa tetap aman dan tentram.
Ritual Seblang hanya akan dijumpai di dua desa di Banyuwangi yaitu desa Bakungan dan Olihsari, yang keduanya masuk dalam kecamatan Glagah.
Pelaksanaan tari Sableng berbeda antara desa Bakungan dan desa Olihsari. Untuk masyarakat di desa Olihsari diselenggarakan saat satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.
Untuk para penari yang akan membawakan tarian Seblang haruslah keturunan dari penari sebelumnya dan di pilih langsung oleh 'dukun'setempat. Ketentuan di desa Olihsari, penari harus dalam usia sebelum akil balik, sedangkan di Bakungan penari haruslah wanita berusia 50 tahun keatas, atau yang telah Menopause.
Tari ini melambangkan kesakralan, ritual pertemuan dua dunia, sekaligus sebagai rasa syukur atas karunia yang diberikan oleh sang Pencipta dan juga menjadi permohonan untuk tolak bala. Di arena tempat diadakannya ritual Seblang ini, ada pula amben, semacam meja kecil tempat menaruh boneka nini towok, bunga-bunga yang nantinya akan dijual pada penonton, hiasan dari janur, tebu, padi hingga sesajen.
Hiasan padi, tebu dan tanaman pangan lainnya adalah melambangkan kesuburan yang patut disyukuri. Sedangkan, boneka nini towok, dalam beberapa kepercayaan di Jawa, adalah merupakan simbol padi dan kesuburan. Di kanan-kiri amben, tampak duduk berjejer para pemangku adat dan juga master of ceremony.
K.     AGAMA DAN BUDAYA
Kebanyakan orang Osing adalah penganut agama Islam abangan dan Hindu, dan keduanya bercampuran dengan elemen-elemen animisme. Budaya Osing serupa dengan budaya Bali, dan penganut Hindu Osing merayakan perayaan Hindu Bali seperti Nyepi. Adalah menjadi kebiasaan untuk melihat masjid dan kuil Hindu dibina berdekatan satu dengan lain di Banyuwangi. Sekitar 2-3,000 daripada mereka adalah penganut agama Kristian yang telah dicampuradukkan dengan ajaran Islam dan Hindu.







DAFTAR PUSTAKA

Perpres No. 6 Tahun 2011". 17 Februari 2011.


Potensi Pariwisata dan Produk Unggulan Jawa Timur







http://www.antarajatim.com/lihat/berita/74881/suku-osing-banyuwangi-gelar-ritual-tumpeng-sewu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar