S U K U
B A D U I
I.
Pendahuluan
Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh
adat tradisi yaitu Suku Baduy. Suku Baduy mendiami kawasan Pegunungan Keundeng,
tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat
Baduy memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar yang terletak di
Pegunungan Keundeng. Mereka memiliki prinsip hidup cinta damai, tidak mau
berkonflik dan taat pada tradisi lama serta hukum adat.
Kadang kala suku Baduy juga menyebut dirinya sebagai orang Kanekes,
karena berada di Desa Kanekes. Mereka berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar.
Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di
Pegunungan Keundeng. Atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta
dan 65 km sebelah selatan ibu kota
Serang.
Masyarakat suku Baduy sendiri terbagi dalam dua kelompok. Kelompok
terbesar disebut dengan Baduy Luar atau Urang Panamping yang tinggal disebelah
utara Kanekes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan
8 anak kampung. Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam
atau Urang Tangtu. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di
Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana.
Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam
menyebut Baduy Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar
menyebut Badui Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri
lainnya, pakaian yang biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna
putih-putih. Sedangkan, Baduy Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan
ikat kepala bercorak batik warna biru.
II.
Sejarah Suku
Baduy
Suku Badui adalah salah satu suku yang ada di Provinsi
Banten, yang memiliki kondisi geografis hutan perbukitan. Suku Badui yang dekat
dengan Rangkasbitung ini menamakan dirinya juga dengan Kanekes. Konon
dikabarkan bahwa Suku Badui ini merupakan peninggalan aristokrat kerajaan
Pajajaran di Sunda. Namun demikian hingga sekarang belum ada bukti
sejarah yang menyatakan secara resmi bahwa Suku Badui ini bagian dari kerajaan
yang berada di Batutulis, di suatu area perbukitan di Bogor, Jawa Barat. Pola arsitektur yang ada
di Suku Badui ini yang mengarah pada gaya arsitektur Sunda secara tradisional.
Pada tahun 1579 tentara muslim Faletehan (Fatahilah) menyerang Pelabuhan
Pakuwan Pajajaran, atau yang sekarang dikenal sekarang ini sebagai Pelabuhan
Sunda Kelapa, dan tidak lama kemudian, ibukota Pajajaran, Dayeuh Pakuan,
dikuasai oleh Kesultanan Banten. Suku Badui sangat menarik untuk dikunjungi,
terlebih lagi bagi yang menyukai adventure traveling. Mungkin kita sudah
terlalu familiar dengan lingkungan perkotaan, kota
metropolitan,kota
yang penuh gedung-gedung , dan sangat dekat dengan polusi. Mungkin ini saatnya
kita menyegarkan diri dari udara kurang sehat itu dan menyegarkan mata dari
hiruk pikuknya perkotaan dan memanjakannya dengan segala hijaunya alam di Suku
Badui.Di sisi lain, kita juga bisa semakin mengenal budaya masyarakat Suku
Badui, yang merupakaan kekayaan budaya kita (yang dipengaruhi oleh Sunda
dan Jawa) dan alam kita juga.
Keberadaan masyarakat Baduy sendiri sering dikaitkan dengan
Kerajaan Sunda (Pajajaran) di abad 15 dan 16. Saat itu, kerajaan Pajajaran yang
berlokasi di Bogor
memiliki pelabuhan dagang besar di Banten, termasuk alamnya perlu diamankan.
Nah, tugas pengamanan ini dilakukan oleh pasukan khusus untuk mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan
pasukan ini yang diyakini sebagai cikal bakal suku Baduy.
Ada pula yang mempercayai awal kebedaraan suku Baduy, merupakan
sisa-sisa pasukan Pajajaran yang setia pada Prabu Siliwangi. Mereka melarikan
diri dari kejaran pasukan Sultan Banten dan Cirebon. Namun pada akhirnya, mereka
dilindungi Kesultanan Banten dan diberi otonomi khusus.
III.
Profil Suku
Baduy
a. Pembagian Suku Baduy
Suku Baduy sering kali membagi sebutan
wilayahnya dengan sebutan baduy dalam dam baduy luar.
(1) Suku Baduy Dalam
Suku Badui Dalam masih sangat tertutup dengan
orang asing, orang baru.Dari 400 jumalh penduduknya, terdiri atas 40 kepala
keluarga Kajeroan.Mereka tinggal di Tanah Larangan yang teridiri atas 3 desa,
yaitu; desa Cibeo, desa Cikertawana, dan desa Cikeusik. Suku Badui Dalam ini
merupakan suku aslinya masyarakat Badui. Banyak hal tabu yang diyakini secara
ketat di Suku Badui Dalam ini dan sangat terbatas berhubungan dengan dunia
luar. Bahkan di era Soeharto yang saat itu akan membangun fasilitas pendidikan
demi memajukan anak-anak Baduy sebagai aset masa depan pun, itu ditolaknya.
Karena bagi mereka, pendidikan itu berlawanan dengan pola tradisional yang
mereka anut. Dengan demikian sangat jarang orang Suku Badui ini yang bisa baca
tulis. Suku Badui Dalam sangat kuat mendapatkan pengaruh Islam, namun tidaklah
demikian dengan Suku Badui Luar. Mereka hanya menggunakan baju berwana
hitam dan biru.
(2)
Suku Badui Luar
Orang-orang Suku Badui Luar menganut Agama
Sunda Wiwitan, yang merupakan perpaduan antara paham Hindu dengan
kepercayaan masyarakat setempat. Agama ini lebih mirip dengan Kepercayaan
Kejawen atau Animisme Kejawen yang banyak mendapatkan pengaruh dari agama
Hindu-Budha. Masyarakat Suku Badui Luar merupakan filter bagi masyarakat Suku
Badui Dalam. Suku Badui Luar yang memiliki 22 desa ini . Merekapun memiliki
sistem yang di tabu kan
namun tidaklah seketat di masyarakat Suku Badui Dalam. Secara umum mereka
memberikan peraturan tabu untuk melakukan pembunuhan, mencuri, berbohong,
mabuk, makan di malam hari, memakai bunga sebagai asesoris, memakai parfum,
menerima pemberian emas atau perak, memegang uang, memotong rambut, tdk
boleh bertani (sawah basah), tidak boleh menggunakan pupuk dan peralatan modern
lain untuk segala pekerjaan di ladang, dll. Namun demikian, Suku Badui Luar
lebih bisa menerima orang-orang dari luar kelompoknya atau orang-orang
asing, dan juga lebih bisa menerima konsep-konsep yang lebih modern.
Selain menggunakan baju yang lebih beraneka warna, mereka juga banyak
yang merantau dan bekerja di Jakarta, Bandung, dan Bogor.
Meski berburu hewan masih dilarang di Suku Badui Dalam, namun masyarakat Suku
Badui Luar ini melatih anjing untuk berburu hewan sebagai salah satu
makananya.
b. Matapencaharian
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,
masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah
mengharapkan bantuan dari luar. Mereka secara mandiri dengan cara bercocok
tanam dan berladang. Selain itu mereka menjual hasil kerajinan seperti Koja dan
Jarog(tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju,
celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu.
Mata pencaharian masyarakat Baduy
adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain
itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes
secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali
dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan
penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy
biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki,
umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk
mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan
mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan
melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak
diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah
Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
c. Agama
dan Kepercayaan
Suatu kesulitan utama adalah akses ke wilayah Badui. Mungkin langkah
pertama adalah menetapkan suatu titik pertemuan di perbatasan dan berteman
dengan beberapa orang Badui. Pertemuan yang alamiah lebih baik dilakukan oleh
orang Sunda sendiri, daripada oleh orang luar. Para
pelayan harus diperlengkapi dengan alat-alat peraga visual yang baik untuk penginjilan,
dan yang berorientasi pada budaya karena orang-orang Badui tidak bisa membaca.
Setiap pelayan juga harus dipersiapkan untuk menghadapi kuasa ilmu hitam dan
penyembahan berhala orang-orang Badui. Pelayanan penyembuhan dan pelepasan,
akan sangat tepat menyertai pemberitaan Injil. Seorang ahli bahasa-penerjemah
Kristen asing bisa ditempatkan di daerah itu, yang akan memfasilitasi dengan
menggunakan kata-kata kunci Injil sehari-hari sebagai langkah awal.
Perlu dicari cara-cara untuk menjangkau orang Badui luar yang memiliki
relasi dengan orang Badui dalam. Selanjutnya, orang-orang Kristen etnis lainnya
dapat diperkenalkan. Sebagian kecil orang Badui yang berhubungan dengan para
pengusaha adalah contoh Badui yang berhubungan dengan pihak luar. Suatu risiko
yang mungkin terjadi adalah pengucilan para penghubung itu. Kaum muda bisa
menjadi sasaran yang mau menerima. Mereka yang telah bepergian keluar dan
menyaksikan kehidupan orang-orang non-Badui adalah calon orang-orang yang dapat
diubahkan. Namun demikian, budaya dapat dengan mudah menghadapi
ketidakseimbangan bilamana orang-orang yang lanjut usia diabaikan. Para pelayan
harus berteman dengan mereka, dan mengetahui kebutuhan yang dirasakan unik bagi
mereka yang gaya
hidupnya terasing. Selanjutnya, dibutuhkan strategi yang lebih lengkap yang
disusun untuk menjangkau seluruh suku bangsa. Telah diberitakan bahwa beberapa
pejabat pemerintah di republik ini telah meminta orang Badui untuk memberi
nasihat pada urusan kenegaraan, karena mereka percaya bahwa orang-orang Badui
memiliki kekuatan khusus untuk meramal masa depan dan menjampi musuh-musuh
mereka. Namun, orang-orang Badui lebih suka membiarkan diri mereka sebagai
orang-orang buta huruf, daripada mendidik anak-anak mereka di sekolah-sekolah
umum milik pemerintah.
Ketika Injil telah masuk ke pulau Jawa, mereka juga bersikukuh
menentangnya. Pada suatu ketika, seorang Indonesia yang telah menjadi orang
Kristen berbicara dengan beberapa orang Badui tentang Yesus Kristus, namun
usaha-usahanya ditentang keras oleh para pemimpin Badui. Meskipun tidak ada
data untuk membuktikannya, tampaknya menjangkau kaum bangsawan Badui merupakan
kunci untuk menjangkau semua lapisan orang Badui. Mereka menutup diri terhadap
setiap kesaksian orang-orang Kristen. Meskipun demikian, beberapa orang Kristen
suku Jawa telah mempertaruhkan nyawa untuk mencoba membawa Injil kepada
orang-orang yang membutuhkan ini.
Agama rakyat (tradisional) adalah kekuatan spiritual yang dominan dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Gambaran Kekristenan sedikit sekali masuk ke
dalam kehidupan Badui, karena daerah ini sangat terisolasi. Selama tahun
1970-an, seorang Kristen suku Sunda yang memiliki semangat pelayanan melakukan
beberapa perjalanan ke Badui, diberitakan bahwa banyak orang bertobat. Kehidupannya
dalam bahaya selama beberapa waktu dan ia harus melarikan diri dari daerah itu.
Kontak itu tidak berlangsung lama dan tak ada lagi saksi-saksi Kristen di sana. Bahkan ketika kontak
Injil berlangsung, orang-orang Badui sangat menentang. Satu-satunya penghubung
dari luar dengan orang-orang ini sekarang adalah, para pengusaha terdekat yang
mempekerjakan orang-orang Badui untuk menampilkan kerajinan tangan dan
kebiasaan mereka.
Pokok Doa:
1.
Doakan agar Tuhan menaruh visi-Nya kepada orang-orang
percaya untuk memahami bahasa suku Badui, supaya mereka memunyai kerinduan
untuk belajar bahasa yang dipahami orang Badui dan kebiasaan-kebiasaan hidup
yang mereka jalani.
2.
Doakan agar lebih banyak anak-anak Tuhan memunyai
kerinduan hati untuk berdoa agar kasih Tuhan diberitakan kepada suku Badui.
3.
Doakan orang-orang Badui agar Tuhan persiapkan hati
mereka untuk dilembutkan sehingga dapat menyambut pemberitaan Injil dan
merespons tawaran Allah akan anugerah keselamatan bagi mereka.
4.
Doakan agar Tuhan membuka jalan agar orang-orang Badui
yang sudah mengalami kasih Tuhan dapat menjangkau saudara-saudara mereka bagi
Kristus.
5.
Doakan supaya gereja-gereja mau mengutus dan mendukung
para penginjil untuk membawa terang Kristus kepada orang-orang Badui.
6.
Doakan para pengusaha Kristen agar memiliki keberanian
untuk memberitakan Injil Yesus Kristus kepada relasi mereka yang berasal dari
suku Badui.
Kepercayaan Suku Baduy atau
masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan
pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi
oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari
kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan
adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit
mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi
masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap
paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan
setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun dan
rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di
daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat
pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan
panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh
pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
d. Kepemimpinan
Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan yang
tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat
dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan
nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang
tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri
Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan
Puun Kiteu di Cikartawana.
Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro
Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah
daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar sendiri mengenal sistem
pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro
Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
e.
Kebudayaan.
1.
Masyarakat dan Kebudayaan Suku Baduy
Masyarakat Baduy
sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat – red) mereka.
Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk
menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat,
hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada
yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.
Dengan menjalani
kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah
komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di
masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin.Kehidupan
mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya
saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan
kolot yang harus mereka patuhi.
2. Bulan Puasa/Kawalu
Masyarakat Baduy
Dalam sedang melaksanakan puasa yang dinamakan Kawalu. Di saat Kawalu ini,
orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah
mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani
puasa yang mereka disebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan Adapt. Di
saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua
kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka
tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau selamatan-selamatan melainkan
mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang
disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu. Satu-satunya kegiatan utama sebagai
pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari
ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat
Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah
adat-nya.
3. Pernikahan
Di dalam proses
pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat
lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang
namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua
perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah
mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran.
Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung)
dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua,
selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan
cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga,
mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan
untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan akad
nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un
untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy
tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk
menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap
manusia melaksanakan hal tersebut.
4. Hukum di Tatanan
Masyarakat Baduy
Menurut
keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di
lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat
oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy
yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif
(negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan
hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum,
Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman
terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori
pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya
dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan
peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok
atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat
diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran
yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi
peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke
dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari.
Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada
di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para
Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan
adat dan ketentuan Baduy.
Rutannya Orang
Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat, sangat jelas berbeda dengan yang
dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah Tahanan Adat Baduy bukanlah jeruji
besi yang biasa digunakan untuk mengurung narapidana di kota-kota, melainkan
berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang mengurus/menjaganya. Selama 40 hari
sipelaku bukan dikurung atau tidak melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap
melakukan kegiatan dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya saja tetap
dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. Uniknya, yang
namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai
mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian
ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di
masyarakat kota,
juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat
Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja.
5. Pakaian
Suku Baduy
Dalam kehidupan
keseharian manusia, berpakaian merupakan salah satu alat untuk melindungi diri
dan menunjukan citra diri terhadap orang lain. Dalam hal ini masyarakat
Baduy yang merupakan suku terasing di Banten sudah memikirkan dalam hal berpakaian
dalam masyarakatnya. Sebelumnya Suku Baduy adalah suku yang menetap di ujung
Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu
Baduy Luar, yang tinggal luar daerah Baduy Dalam,dan baduy dalam yang menetap
di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam pandangannya mereka yakin berasal dari
satu keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk
busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam
berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya
saja.Baduy Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan
kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh
kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal
kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat
dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun
fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat
kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Untuk Baduy
Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang,
serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih karena cara memakainya
hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya
dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak
memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana
mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan
tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang
kapas asli yang ditenun.Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung
warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan
tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Untuk kelengkapan pada
bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih. Ikat kepala
ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan
dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba
putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.
Bagi suku Baduy
Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat
kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah
dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan
potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak
diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping
memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat
dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan
mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy
adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika
hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik
pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang
dicangklek (disandang) di pundaknya.
Sedangkan, untuk
busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak
terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian,
kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru
kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan
untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya
membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya
harus tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya,
kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat
pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan
dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk memenuhi
kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan
oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal,
ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk
keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung
atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis
putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna
merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai
sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis
busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang
dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di
antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon
teureup ataupun benang yang dicelup.
IV.
Penutup
Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu
berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat) mereka. Kepatuhan kepada
ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan
bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan
masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau
menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.
Suku Baduy menjalani kehidupan sesuai adat dan
aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan
masyarakat yang amat damai dan sejahtera.
Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti
layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah
begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi
K e p u s t a k a a n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar