Kamis, 01 Maret 2012

AKIDAH NASI

KH. Kholil, atau sering dipanggil dengan sebutan Syaikhana Kholil atau Mbah Kholil adalah sesosok ulama’ kharismatik pada zamannya. Bahkan KH. Hasyim Ay’ary, Pendiri Organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama’ pernah berguru padanya. Umat Islam, khususnya kaum nahdliyin meyakini bahwa beliau adalah seorang Waliyullah.

Di masa kecilnya beliau sudah memiliki keanehan-keanehan antara lain, di saat sedang nyantri di sebuah Pesantren. Pada saat itu sedang shalat maghrib berjama’ah dengan gurunya. Ketika sang imam mengucapkan kalimat takbiratul ihram, ia tidak mengikuti, bahkan ketawa keras. Mendengar ketawa khalil, spontan para jama’ah mengurungkan shalat maghrib. Dan sang gurunya pun marah.

“Khalil, kamu itu shalat kok ketawa?” demikian bentak gurunya

”Bagaimana saya nggak ketawa guru?” jawab khalil

“Memangnya ada apa khalil?” Tanya guru ingin tahu.

“Ha ha ha ha, karena saat pak kyai mengucap kalimat takbiratul ihram, saya melihat sebakul nasi sedang mutar-mutar di atas kepala pak kyai.” demikian penjelasan Khalil kecil.

Mendengar ucapan itu, sang imam tersenyum kecut. Diam-diam dalam hatinya mengagumi kehebatan Khalil ,”hemm, anak ini rupanya punya keistewaan, dapat mengetahui hatiku. Ia tahu kalau aku sedang lapar, dan saat mengawali shalat aku ingin cepat- cepat selesai, karena hendak bergegas memakan nasi yang sudah disiapkan istriku.”

Dongeng tersebut muncul lagi dalam benakku, ketika menyaksikan berita tentang ”Tragedi Priuk”. Dimana telah terjadi pertentangan antara kepentingan ”penertiban” dengan penyelamatan asset budaya Islam, sekaligus salah satu sarana ritual sebagian Ummat Islam.

Kisah mbah Kholil itu, mengajarkan kepada kita bahwa, betapapun seorang pemimpin jika tidak bisa mengendalikan kepentingan perut, maka mudah menggoyahkan kekhusukannya dalam pengabidannya pada Tuhan. Bahkan kekhusukan shalatpun akan buyar.

Nasi adalah simbul kebutuhan pokok manusia. Dalam spektrum pandangan yang lebih luas, termasuk didalamnya adalah kepentingan duniawi, jabatan, kerja, profesi, status sosial dan kepentingan-kepentingan lain yang menjanjikan kehidupan di dunia ini. Jika aqidah manusia terkontaminasi dengan hal-hal itu, tidak mengedepankan pada nilai-nilai ketuhanan, berarti laksana orang yang lagi shalat sedang mengingat-ingat nasi, karena tak kuat menahan lapar.

Par-par lapar

Lapar orang miskin pada sesuap nasi

Lapar orang kaya pada sesuap berlian

Lapar orang kuasa pada sesuap nama

Lapar orang pintar pada sesuap tipu daya

Lapar orang sombong pada sesuap kecongkakan

Lapar pengemis pada sesuap sedekah

Par par lapar segalanya

Jika mansia tak mampu mengendalikan rasa laparnya, apa yang terjadi? Rasulullah SAW. memberikan peringatan bahwa, ”Kaadza Al Fakru Ayyakuuna Kufran.” hampir saja kemiskinan itu menjerumuskan kekufuran.

Dalam segi bahasa, Kufur, berasal dari kata ”Kafara” mengandung mak’na menutup. Orang yang kufur adalah menutup nilai-nilai kebenaran, sehingga meremehkan pihak lain dan tidak menerima atau mengabaikan kepentingan orang lain demi pemuasan nafsunya yang lapar.

Kufur adalah embrio dari kesombongan atau kadang sebaliknya. Dan kesombongan adalah musuh Tuhan, terhina dan dihinakan. Menceramati persoalan ”Tragedi di Makam Mbah Priuk”, siapakah yang miskin moral, sehingga lapar akan nilai-nilai kebenaran, dan dikhawatirkan akan terjerumus dalam kubang kekufuran? Andalah yang lebih tahu.

(Kumpulan Catatan Oleh Nurul Huda Al-Fatawy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar