S U K U S U N
D A
Oleh
Nurul Huda Al-Fatawy
I.
Kata
Pengantar
Suku Sunda adalah kelompok
etnis
yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat.
Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia, setelah etnis Jawa.
Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda.
Mayoritas orang Sunda beragama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak
masyarakat yang mempercayai kekuatan-kekuatan supranatural, yang berasal dari
kebudayaan animisme dan Hindu. Kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan
masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan
dan masyarakat suku Baduy di Lebak yang berkerabat dekat dan
dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya
dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan
riang, akan tetapi mereka dapat bersifat pemalu dan terlalu perasa secara
emosional. Karakter orang Sunda seringkali ditampilkan melalui tokoh populer
dalam kebudayaan Sunda; Kabayan dan Cepot. Mereka bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal,
tetapi seringkali nakal.
Prestasi yang cukup membanggakan adalah banyaknya penyanyi, musisi, aktor
dan aktris dari etnis Sunda, yang memiliki prestasi di tingkat nasional, maupun
internasional.
II.
Asal-Usul
Suku Sunda
Sunda berasal dari kata Su yang berarti segala sesuatu yang mengandung
unsur kebaikan. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter
Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud
adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer
(mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh
masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman Kerajaan Salakanagara.
Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman
pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya.
Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670,
Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara
menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan
Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah
dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh.
Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai
Citarum sebagai batasnya.
III. Bahasa Suku Sunda
Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda.
Namun kini telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan
tidak lagi menggunakan bahasa tersebut dalam bertutur kata. Seperti yang
terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung
dan Bogor,
dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.
Ada beberapa dialek
dalam bahasa Sunda, antara lain dialek Sunda-Banten, dialek Sunda-Bogor, dialek
Sunda-Priangan,
dialek Sunda-Jawa, dan beberapa dialek lainnya yang telah bercampur baur dengan
bahasa Jawa
dan bahasa Melayu.
Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram Islam, bahasa Sunda -
terutama dialek Sunda Priangan - mengenal beberapa tingkatan berbahasa, mulai
dari bahasa halus, bahasa loma/ lancaran, hingga bahasa kasar. Namun di
wilayah-wilayah pedesaan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma tetap
dominan
IV. Kesenian Suku Sunda
a.
Tarian
Jaipong
Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan
menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini.
Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen
karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda
yaitu Ketuk Tilu.Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas
pula, yaitu Degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti
Kendang, Go’ong, Saron, Kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan ‘Orkestra’ dalam
musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak,
dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian.
Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok.
Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara
hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.
b.
Tari
Merak
Tari Merak merupakan salah satu ragam tarian kreasi baru yang mengekspresikan kehidupan
binatang,
yaitu burung merak.
Tata cara dan geraknya diambil dari kehidupan
merak
yang diangkat ke pentas oleh Raden Tjetje Somantri.
Merak yaitu binatang sebesar ayam, bulunya
halus dan dikepalanya
memiliki seperti mahkota.
Kehidupan merak
yang selalu mengembangkan bulu ekornya
agar menarik burung merak wanita
meninspirasikan R. Tjetje Somantri untuk membuat tari Merak ini.
Dalam
pertunjukannya, ciri bahwa itu adalah terlihat dari pakaian
yang dipakai penarinya memiliki motif seperti bulu merak. Kain dan
bajunya menggambarkan bentuk dan warna bulu-bulu merak; hijau biru dan/atau hitam. Ditambah lagi
sepasang sayapnya
yang melukiskan sayap
atau ekor
merak
yang sedang dikembangkan. Gambaran merak bakal jelas dengan memakai mahkota
yang dipasang di kepala
setiap penarinya.
Tarian ini
biasanya ditarikan berbarengan, biasanya tiga penari atau bisa juga
lebih yang masing-masing memiliki fungsi sebagai wanita dan
laki-lakinya. Iringan lagu gendingnya yaitu lagu Macan Ucul biasanya. Dalam
adegan gerakan tertentu terkadang waditra bonang dipukul di bagian kayunya yang sangat keras
sampai terdengar kencang, itu merupakan bagian gerakan sepasang merak yang
sedang bermesraan.
Dari sekian
banyaknya tarian yang diciptakan oleh Raden Tjetje Somantri, mungkin tari Merak
ini merupakan tari yang terkenal di Indonesia dan luar negeri. Tidak heran
kalau seniman Bali
juga, diantaranya mahasiswa ASKI Denpasar menciptakan tari Manuk Rawa yang konsep dan
gerakannya hampir mirip dengan tari Merak.
c. Tari Topeng
Tari Topeng Cirebon, kesenian ini
merupakan kesenian asli daerah Cirebon, termasuk Indramayu
dan Jatibarang.
Tari topeng Cirebon adalah salah
satu tarian di tatar Parahyangan. Disebut tari topeng, karena penarinya menggunakan topeng di saat menari. Tari
topeng ini sendiri banyak sekali ragamnya, dan mengalami perkembangan
dalam hal gerakan, maupun cerita yang ingin disampaikan. Terkadang tari topeng dimainkan oleh saru penari
tarian solo, atau bisa juga dimainkan oleh beberapa orang.
Salah satu jenis lainnya dari tari topeng
ini adalah tari topeng kelana kencana wungu merupakan rangkaian tari topeng gaya Parahyangan
yang menceritakan ratu Kencana wungu yang dikejar-kejar oleh prabu Minakjingga
yang tergila-tergila padanya. Pada dasarnya masing-masing topeng yang
mewakili masing-masing karakter menggambarkan perwatakan manusia. Kencana
Wungu, dengan topeng warna biru, mewakili karakter yang lincah namun anggun. Minakjingga
(disebut juga kelana), dengan topeng warna merah mewakili karakter
yang berangasan, tempramental dan tidak sabaran. Tari ini karya Nugraha Soeradiredja.
Gerakan tangan dan tubuh yang gemulai, serta iringan
musik yang didominasi oleh kendang dan rebab, merupakan ciri khas lain dari tari topeng.
Kesenian Tari Topeng ini masih eksis dipelajari di
sanggar-sanggar tari yang ada, dan masih sering dipentaskan pada acara-acara
resmi daerah, ataupun pada momen tradisional daerah lainnya.
Salah satu
maestro tari topeng adalah Mimi Rasinah, yang aktif menari dan mengajarkan
kesenian Tari Topeng di sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah yang terletak di desa Pekandangan, Indramayu.
Sejak tahun 2006 Mimi Rasinah menderita lumpuh, namun ia masih
tetap bersemangat untuk berpentas, menari dan mengajarkan tari topeng hingga
akhir hayatnya, Mimi Rasinah wafat pada bulan Agustus 2010 pada
usia 80 tahun
c.
Seni Musik
dan Suara
Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam
memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda
dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan
Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden
karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.Dibawah ini
salah salah satu musik/lagu daerah Sunda : Bubuy Bulan, Es Lilin, Manuk
Dadali, Tokecang, Warung Pojok
d.
Wayang Golek
Jepang boleh terkenal dengan ‘Boneka Jepangnya’, maka tanah Sunda
terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan
sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara
merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian
dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan
Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek
biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya.
Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk)
dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang
dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik
melawan tokoh jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India,
seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil
nama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat
dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti
Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang
selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa
penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan
variasi yang sangat menarik.
Wayang adalah bentuk teater
rakyat yang sangat popular. Orang sering menghubungkan kata “wayang” dengan
”bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit
yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan. Di Jawa Barat,
selain wayang kulit, yang paling populer adalah wayang golek. Berkenaan dengan
wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang
golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang wong, dari semua wayang
itu dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus
menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan
lain-lain.
Sebagaimana alur cerita
pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang golek juga biasanya memiliki
lakon-lakon baik galur maupun carangan yang bersumber dari cerita Ramayana
dan Mahabarata
dengan menggunakan bahasa Sunda dengan iringan gamelan Sunda (salendro),
yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu
perangkat kenong,
sepasang gong
(kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang
(sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang
dan rebab.
Sejak 1920-an,
selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada
masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang
golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit
Sarimanah dan Titim Patimah sekitar
tahun 1960-an.
Dalam pertunjukan wayang
golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya
kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran
kepandaian para dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik.
Beberapa dalang wayang golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U.
Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi dll.
Pola pengadegan wayang golek
adalah sebagai berikut; 1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending
jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak unjal,
paseban, dan bebegalan; 3) Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang gagal; 6)
Panakawan/goro-goro; 7) Perang kembang; 8) Perang raket; dan 9) Tutug.
Salah satu fungsi wayang dalam
masyarakat adalah ngaruat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya).
Beberapa orang yang diruwat (sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal);
2) Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba
(empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra);
6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit
putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan
sebagainya.
Wayang golek saat ini lebih
dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan
dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual
maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di
masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam
rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan
pertunjukan wayang golek.
e.
Alat Musik
Calung
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung.
Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh
calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung
bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik
(da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung
(bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna
putih).
f.
Alat Musik
Angklung
Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu
khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal
penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian lokal atau
tradisional.
Angklung adalah alat musik
multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat
berbahasa Sunda
di Pulau Jawa
bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan
cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga
menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam
setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung
sebagai musik tradisi Sunda
kebanyakan adalah salendro dan pelog.
Angklung terdaftar sebagai Karya Agung
Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak
November 2010.
Tidak ada petunjuk sejak kapan
angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam
kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern,
sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan
Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru
muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal
usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup
masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai
makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang
Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap
sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian
dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu
yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari
ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri
turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa
digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung)
dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi
tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran
kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda
sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah
semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat
masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia
Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan
itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak-
anak pada waktu itu.
Selanjutnya lagu-lagu
persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang
terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah
struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian
pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung.
Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian
ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan
di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana
(usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya,
angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan
Sumatera. Pada 1908
tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand,
antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun
sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo
Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan
berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan
bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
Ada banyak macam jenis
permainan Angklung ini, antara lain:
(1) Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes
(kita sering menyebut mereka orang Baduy)
digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata
untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka
menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang
hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy
Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar).
Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap
mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare
(mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu,
selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh
dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung
dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun
(menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung
biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung
di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam
lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala,
Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong
Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan,
Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler,
Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak
Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang,
Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak
delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil
berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage
(menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya
dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam,
mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu),
tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian
semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes
dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung
leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh
seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan
ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung
Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik,
hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo,
hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat
angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3
kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak
semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang
mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di
Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah.
Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
(2)
Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog
lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan
Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar
di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta,
Bogor,
dan Lebak).
Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di
dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara
ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara
Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai
tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai
petunjuk gaib.
Tradisi
penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk
masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku
sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan
Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama
Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan
kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam
hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah
mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak,
perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam
kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar.
Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong,
kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang,
sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Lagu-lagu
dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng
Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan.
Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
(3) Angklung Gubrag
Angklung gubrag
terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah
berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare
(menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke
leuit (lumbung).
Dalam mitosnya
angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim
paceklik.
(4) Angklung Badeng
Badeng
merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai
alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan
Malangbong, Garut.
Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga
badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk
acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk
dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar
abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar
agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak
mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam
yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang
digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4
angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah
terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda
yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang
digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai
Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam
pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian,
seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu
badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan,
Solaloh.
Dari beberapa jenis musik
bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang
seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung),
Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu),
Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten),
Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong,
Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional
dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas
Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang
bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si
Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi
tangga nada
Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil
pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara
orkestra besar
V.
Rumah
Adat Suku Sunda
Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian
0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah
tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya
digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi,
kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan
sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang disebut Golodog yang
terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak
tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam
rumah.
Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung
pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama
suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub,
dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling
sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.
Jolopong memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh jalur suhunan di
tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua
sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek
dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.
Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong
terdiri atas ruang depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut
tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan
ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat
menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi
untuk menerima tamu. Dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot
rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Jika tamu
datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Seiring
waktu, kini sudah disediakan meja dan kursi bahkan peralatan lainnya. Ruang
balandongan berfungsi untuk menambah kesejukan bagi penghuni rumah. Untuk ruang
tidur, digunakan Pangkeng. Ruangan sejenis pangkeng ialah jobong atau gudang
yang digunakan untuk menyimpan barang atau alat-alat rumah tangga. Ruangan
tengah digunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering digunakan
untuk melaksanakan upacara atau selamatan dan ruang belakang (dapur) digunakan
untuk memasak.
Ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa
Barat ini memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan
rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir
di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun
alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan paseuk (dari bambu)
atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup
rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat Sunda
sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material
yang digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan
lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk
tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas
orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata
dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.
VI. Sistim Kekerabatan Suku Sunda
Sistem keluarga dalam
suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari pihak bapak dan
ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan
kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat
istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda.Dalam suku Sunda dikenal
adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan
kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke
bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng
atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang
berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak,
anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang
berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak
kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula
kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih
sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia.
Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan
VII.
Masakan
Khas Suku Sunda
Beberapa jenis makanan jajanan tradisional Indonesia yang berasal dari tanah
sunda, seperti sayur asem, sayur lodeh, pepes, lalaban, dll.
VIII. Mata Pencaharian Suku Sunda
Mayoritas masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani, dan berladang, ini
disebabkan tanah Sunda yang subur. Sampai abad ke-19, banyak dari masyarakat
Sunda yang berladang secara berpindah-pindah.
Selain bertani, masyarakat Sunda seringkali memilih untuk menjadi
pengusaha dan pedagang sebagai mata pencariannya, meskipun kebanyakan berupa
wirausaha kecil-kecilan yang sederhana, seperti menjadi penjaja makanan
keliling, membuka warung
atau rumah makan, membuka toko barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari, atau
membuka usaha cukur rambut, di daerah perkotaan ada pula yang membuka usaha
percetakan, distro, cafe, rental mobil dan jual beli kendaraan bekas. Profesi
pedagang keliling banyak pula dilakoni oleh masyarakat Sunda, terutama asal Tasikmalaya
dan Garut.
Profesi lainnya yang banyak dilakoni oleh orang Sunda adalah sebagai pegawai
negeri, penyanyi, seniman, dokter, diplomat dan pengusaha.
IX. Sunda
Wiwitan
Sunda Wiwitan (Bahasa Sunda:
"Sunda permulaan", "Sunda sejati", atau "Sunda
asli") adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah
leluhur
(animisme
dan dinamisme)
yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat,
seperti di Kanekes, Lebak, Banten;
Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok,
Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur,
Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan
yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian,
sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran
keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini
disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan
kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha,
melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang.
Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh
unsur-unsur ajaran Hindu,
dan hingga batas tertentu, ajaran Islam.[2]
Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut
sebagai ajaran "Jatisunda".
X.
Mitologi
dan Sistem Kepercayaan Suku Sunda
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang
Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut
sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa
Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana
Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra,
Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga
macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun
mengenai mitologi orang Kanekes:
1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang
Kersa, yang letaknya paling atas
2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia
dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang
tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang
atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan
atau Mandala Hyang.
Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri
dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah
satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap
sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang
memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun
(menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
XI. Falsafah Suku Sunda
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang
tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas
dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat
adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan
pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri
Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan
manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
a Welas
asih: cinta kasih
b. Undak
usuk: tatanan dalam kekeluargaan
c. Tata
krama: tatanan perilaku
d. Budi
bahasa dan budaya
e. Wiwaha
yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum
melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal
tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua
manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada
hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam
ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada
Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
a.
Rupa
b.
Adat
c.
Bahasa
d.
Aksara
e.
Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda
Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia
sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat
akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan
bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa
yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para
pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua:
a.
Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan
orang lain
b.
Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan
keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas)
serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen,
maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang
Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh mereka yang
tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy
Dalam.
XII.
ADAT
Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian
pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara
syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada
penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun.
Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan
dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa
desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten;
Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok,
Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur,
Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih
memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang
dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk
agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh
agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda.
Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.
XIII. Penutup
Suku Sunda adalah kelompok
etnis
yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya
dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan
riang, akan tetapi mereka dapat bersifat pemalu dan terlalu perasa secara
emosional. Karakter orang Sunda seringkali ditampilkan melalui tokoh populer
dalam kebudayaan Sunda; Kabayan dan Cepot. Mereka bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal,
tetapi seringkali nakal.
Sunda berasal dari kata Su yang berarti segala sesuatu yang mengandung
unsur kebaikan. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan,
sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur
(sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas
diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh
masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman Kerajaan Salakanagara.
Suku Sunda memiliki beberapa kesenian tradisional, antara lain: Tarian
Jaipong, Tari Merak, Tari
Topeng, Seni Musik dan Suara, Wayang Golek, Alat Musik Calung, Alat Musik
Angklung, dan lain-lain.
KEPUSTAKAAN
Indonesia's
Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape.
Institute of Southeast Asian Studies. 15 Desember 2003. ISBN 9812302123.
Rosidi, Ayip. Revitalisasi
dan Aplikasi Nilai-nilai Budaya Sunda dalam Pembangunan Daerah.
Hasbullah, Moeflich. Tergerusnya
Kebudayaan Sunda. Kompas Cetak.
Hendayana, Yayat. Jawa
Barat 2010, Terdepan atau Terpinggirkan?. Pikiran Rakyat.
Ekadjati, Edi S, "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan
Sejarah", Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, halaman 72-73
Ekadjati, Edi S, "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan
Sejarah", Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, halaman 73
http://id.wikipedia.org/wiki/Angklung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar