S U K
U S A M I N
Oleh Nurul Huda Al-Fatawy
I.
PENDAHULUAN
Sejak dikenal umum dari
zaman kolonial Belanda, orang Samin tinggal menyebar di daerah Bojonegoro,
Tuban, Blora, Rembang, Grobogan, Pati, dan Kudus. Mereka berdomisili tidak
menggerombol, melainkan terpencar-pencar, misalnya, tiap desa terdapat 5-6
keluarga, tetapi solidaritas sosialnya menyatu.
Orang Samin memiliki rasa
religi yang kuat sehingga sering kali membuat para pendatang (tamu) merasa risi
dan malu karena mereka sangat jujur, serta pemurah terhadap para tamu. Seluruh
makanan yang mereka simpan disajikan kepada tamunya dan tidak pernah memikirkan
berapa harganya.
Masyarakat Samin memiliki
jiwa yang polos dan terbuka. Mereka berbicara menggunakan bahasa Kawi dan
bercampur bahasa Jawa ngoko dan sering kedengaran kasar.
Dalam pergaulan
sehari-hari, baik dengan keluarganya, sesama pengikut ajaran, maupun dengan
orang lain yang bukan pengikut Samin, orang Samin selalu beranjak pada
eksistensi mereka yang sudah turun-temurun dari pendahulunya, yaitu Ono niro
mergo ningsun, ono ningsun mergo niro. (Adanya saya karena kamu, adanya kamu
karena saya.)Ucapan itu menunjukkan bahwa orang Samin sesungguhnya memiliki
solidaritas yang tinggi dan sangat menghargai eksistensi manusia sebagai
makhluk individu, sekaligus sebagai makhluk sosial. Karena itu, orang Samin
tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau petil jumput (tidak mau mengambil
barang orang lain yang bukan haknya), tetapi juga tidak mau dimalingi (haknya
dicuri).
Semua perbuatan mereka
berawal dari baik, maka berakhirnya juga harus baik, begitulah ringkasnya. Bagi
orang lain yang tidak memahami eksistensi orang Samin, mereka bisa jadi
menyebutnya sebagai Wong Sikep, yang artinya orang yang selalu waspada. Atau
disebut juga Wong Kalang karena orang lain akan menganggap ketidakrasionalan
pikiran, keeksentrikan perilaku, dan ketidaknormalan bahasa. Tetapi, bagi
sesama orang Samin selalu menyebut kepada orang lain Sedulur Tuwo.
II.
ASAL MULA TIMBULNYA NAMA SAMIN
Menurut sesepuh Samin, Harjo Kardi istilah Samin berarti " tiyang
sami-sami amin", maksudnya kelompok orang yang senasib dan sepenanggungan.
Munculnya nama Samin berasal dari gerakan Saminisme yang dipimpin oleh
gerombolan rampok yang dipimpin oleh Surowidjojo atau Raden Suratmoko yang
lahir tahun 1840. Raden Surowidjojo ini anak seorang bupati Suromoto. Ia merasa
prihatin melihat bangsanya dipaksa membayar pajak dengan kekerasan oleh
pemerintah kolonial, sedangkan penarik pajak tersebut tidak lain adalah kaum
pribumi yang bekerja pada pemerintah kolonial. Pajak yang harus dibayar pada
para petani cukup tinggi, jika ia tidak dapat membayar sebagai gantinya para
petani itu harus menyerahkan harta bendanya berupa ternak, makanan pokok,
maupun barang keperluan rumah tangga. Melihat perilaku bangsa pribumi yang
menjadi antek Belanda, Raden Surowidjojo pergi ke Kadipaten dan bergabung
dengan gerombolan perampok. Gerombolan perampok itu bernama Tiyang sami-sami
amin. Kemudian disingkat menjadi Samin.
Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan "Wong
Samin", sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu
dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan
menyangkal aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering
mencuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para pengikut Saminisme lebih suka disebut "Wong
Sikep", artinya orang yang bertanggung jawab, sebutan untuk orang yang
berkonotasi baik dan jujur.
Wong Sikep dari bahasa Jawa, berarti 'Orang Sikep'.Ungkapan ini merupakan
sebutan untuk masyarakat penganut ajaran Samin sebagai alternatif Wong
Samin.Masyarakat pengikut Samin lebih menyukai disebut sebagai 'Wong Sikep'
karena Wong Sikep berarti orang yang baik dan jujur, sebagai
alih-alih/pengganti atas sebutan 'Wong Samin' yang mempunyai citra jelek dimata
masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai kelompok orang yang tidak jujur.
Wong Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang disebarkan
oleh Samin Surontiko (Raden Kohar) (1859-1914).
III.
AJARAN SUKU SAMIN
Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko
(1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda
dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda
abad ke-19 di Indonesia.
Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan
kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan
hutan jati.
A. Asal Ajaran Samin
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial
Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi
berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus
dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa
oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
B. Tokoh Perintis Ajaran Samin
Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko
(1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda
dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda
abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh
sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan
digunakan untuk perluasan hutan jati.
C. Asal ajaran Saminisme
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial
Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi
berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus
dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa
oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
D. Tokoh perintis ajaran Samin
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan
intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran
Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung
Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan
pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar
prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan.
Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya
nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan
privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat
itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya
dibagi-bagi kepada fakir miskin.
Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian
hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini
dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata
“sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo
melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit
masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif
revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk
pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara
ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu
keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang
didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak,
ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan
budi pekerti..
Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda
dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat
mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan
kitab orang Samin yang ditulisnya juga di sita yang berjudul Serat Jamus
Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang
Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan
gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa
kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin
Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha
menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki
sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang
pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk
membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan
yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan
kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat
utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam
diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk
negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai
dewa suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan
rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional,
yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
- Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma.
Beberapa
sempalan ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam
bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara
historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta).Ajaran
Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara
hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran
ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya
yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan
bagian masyarakat yang berbudaya dan religius.
F.
Daerah Penyebaran Suku
Samin
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya di
Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus),
Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di
beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan
batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawaan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa
pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan
perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu
di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya.
Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan meyinggung banyak pihak yang
menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui
bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa yang menjadi
penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum
perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk mengenang
kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan
sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk
dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga Samin.
G.
Bahasa Suku Samin
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan
dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar.
H.
Kepribadian
Orang Samin memiliki kepribadian
yang polos dan jujur hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang
Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimilikidan tidak pernah minyimpan makanan
yang dimilikinya.
I.
Pengetahuan
Pengatahuan orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka
menganggap bahwa dengan melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu
kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan,
rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya
dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat
dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller dan lain-lain.
Pakaian yang digunakan orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam
dengan bahan yang terbuat dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara
hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut
Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu.
Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban)
dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan
dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan
tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk,
tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta
memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas
mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan
orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan
pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua,
cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh
rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual.
J. Daerah penyebaran dan para
pengikut ajaran Samin
Tersebar pertamakali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890
pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa
lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan
Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa
Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora
dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah
terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles
(1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya
berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan
Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (1999), jumlahnya
2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang,
Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.
- Konsep ajaran Samin
Wong
Sikep dari bahasa Jawa, berarti 'Orang Sikep'.Ungkapan ini merupakan sebutan
untuk masyarakat penganut ajaran Samin sebagai alternatif Wong Samin.Masyarakat
pengikut Samin lebih menyukai disebut sebagai 'Wong Sikep' karena Wong Sikep
berarti orang yang baik dan jujur, sebagai alih-alih/pengganti atas sebutan
'Wong Samin' yang mempunyai citra jelek dimata masyarakat Jawa pada abad 18
sebagai kelompok orang yang tidak jujur.
Wong
Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang disebarkan oleh
Samin Surontiko (Raden Kohar) (1859-1914).
Pengikut
ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
1. tidak bersekolah
2. Tidak memakai peci, tapi
memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip
orang Jawa dahulu,
3. Tidak berpoligami,
4. Tidak memakai celana
panjang, dan hanya pakai celana selutut,
5. Tidak berdagang.
6. Penolakan terhadap
kapitalisme.
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat
Samin: Keseimbangan, Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan
falsafah hidup Masy Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan
Tradisi Lisan menjaga Budaya dan Tradisi Lisan kepada generasi dan keturunan
tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu mendaatkan penelitian, yang berlanjut
kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Samin yang mempunyai kekhasan
dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga tradisi untuk
kelanggengan keyakinan.
L. Pokok-pokok ajaran Saminisme
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
1. Agama adalah senjata atau
pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang
Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat
dlam hidupnya.
2. Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar,
jangan suka irihati dan jangan suka mengambil milik orang.
3. Bersikap sabar dan jangan
sombong.
4. Manusia hidup harus
memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu dibawa
abadi selamanya.Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal,
namun hanya menanggalkan pakaiannya.
5. Bila berbicara harus bisa
menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin
dilarang karena dalam perdagangan ada unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh
menerima sumbangan dalam bentuk uang.
M.
Riwayat Samin
Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso
Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau
Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah
sebuah nama yang bernafas wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai
pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Pangeran
Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil
di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826.
Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah
Klopoduwur, Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak
orang menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah Kolonial Belanda menganggap sepi
ajaran tersebut. Cuma dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang
remeh temeh belaka.
Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang
tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka giat
mengembangkan ajaran Samin. Pada 1907, pengikut Samin sudah berjumlah sekitar
5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang
ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai
Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah
menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh asisten Wedana
Randublatung, Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya, Samin lalu dibuang ke
luar Jawa (ke kota Padang, Sumatra Barat), dan meninggal di Padang pada 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin.
Pada 1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di
Madiun, mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah.
Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu
pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan ajaran
Samin di kawasan Kajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah
Jatirogo, Kabupaten Tuban, namun gagal.
Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda
menaikkan pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan
penolakan dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang pada
petugas pajak, "Iki duwite sopo?" (bahasa Jawa: Ini uangnya siapa?),
dan ketika sang petugas menjawab, "Yo duwitmu" (bahasa Jawa: Ya uang
kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan uang itu ke sakunya sendiri.
Singkat kata, orang-orang Samin misalnya di daerah Purwodadi dan di Balerejo,
Madiun, sudah tidak lagi menghormati pamong Desa, polisi, dan aparat pemerintah
yang lain.
Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang
Janur, mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa
Larangan, Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat desa
dan polisi sebagai badut-badut belaka.
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah,
dengan tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar
dilakukan pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin. Pada tahun 1914 ini
akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di Sumatra Barat. Namun teror
terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda terhadap pengikut Samin. Akibat teror
ini, sekitar tahun 1930-an, perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah
kolonial menguap dan terhenti.
- Kitab Suci Orang Samin
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang
Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah
Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat
Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati
Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer
dan dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati)
ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional
kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah negara
batin yang jauh dari sikap drengki srei,
tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare
dieling-eling. Trokali dilakoni."
IV. Sikap Orang Samin
Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin
tetap menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. oleh karenanya, ketika
menikah, mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA)
atau di catatan sipil. Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur
dan polos tetapi kritis.
A. Bahasa Orang Samin
Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai
adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa
yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
B. Pakaian Orang Samin
Pakaian orang Samin biasanya terdiri baju lengan panjang tidak memakai
krah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya
kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas
mata kaki.
C. Kekerabatan
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan dengan
kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya
saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas
setelah Kakek atau Nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin
terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat
Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga
mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.
D. Pernikahan Orang Samin,
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan
itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk
menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia). Dalam ajaran Samin , dalam
perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang
berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin.
(Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya.
Hidup bersama telah kami jalani berdua.”
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada
pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin. Menurut orang
Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua
pengantin.
E. Sikap terhadap lingkungan
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka
memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah
mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup
sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu
sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani
tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan lahan
(tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu
penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis
atau tidak tergantung pada pemakainya.
G. Pemukiman
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan
rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari
kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu
bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung atau joglo.
Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng
cukup luas, kamar tidur dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan
biasanya digunakan beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar di samping
rumah.
H. Upacara dan tradisi
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran
(bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak
memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur
hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Mereka
melakukan tradisi tersebut secara sederhana.
I. Masyarakat Samin saat ini
Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat Samin. Mereka
saat ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, serta
menggunakan peralat rumah tangga dari plastik, aluminium dan lain-lain.
V.
PENUTUP
Suku Samin berasal
dari nama sesepuhnya yang yang bernama samin surosentiko. Samin juga diartikan
sami-samiamin (semua setuju) terhadap pimpinannya. Suku Samin juga sering
disebut dengan nama Suku Singkep.
Daerah penyebaran
suku samin diantaranya
di Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus),
Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan).